Friday, May 31, 2019

Hambatan Perempuan Dan Kesenjangan Gender Di Pasar Politik

Oleh : Selamat Riadi (17.01.051.084)
Di Indonesia gambaran  peran perempuan dunia publik yang terkait dengan politik secara statistikmasih belum menggembirakan. Hal itu dapat dicermati dari hasil pemilu dari tahun ke tahun.2 Peranperempuan di bidang politik, termasuk pucuk pimpinan penentu kebijakan di pemerintahan baik tingkatpusat maupun daerah, desa sekalipun, masih didominasi kaum pria. Bukan berarti tokoh politikperempuan, dan pemimpin perempuan di bidang  pemerintahan tidak ada, namun jumlahnya masihsangat jauh dari imbang dengan jumlah pemimpin dan tokoh politik laki-laki. Sementara itu secara statistik jumlah penduduk lebih banyak perempuan daripada laki-laki Minimya jumlah perempuan sebagai penentu kebijakan politik, menyebabkan keputusan mengenai kebijakan umum yang mempengaruhi kesejajaran perempuan masih dipegang oleh laki-laki, yangsebagian besar masih meng-image-kan bahwa politik tidak cocok untuk perempuan, perempuan manutsaja apa keputusan politik yang akan diambil oleh laki-laki karena laki-laki yang tahu dan layakberpolitik, serta segudang image patriarkhi lainnya. 
Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur perempuan selalu terwakili di DPR dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kongres Wanita Indonesia pertama pada tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi wanita Indonesia dalam upaya memperluas peran publik mereka, khususnya dalam politik. Dalam forum ini organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok etnis, agama dan bahasa dipersatukan. Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan mengembangkan jaringan. Organisasi dan gerakan wanita ini meningkatkan posisi tawar perempuan, sebagaimana terlihat dari frekuensi keterlibatan para pemimpin organisasi-organisasi tersebut dalam berbagai kegiatan pembangunan, yang dilaksanakan oleh masyarakat, pemerintah dan institusi lainnya. Dalam konteks politik, organisasi-organisasi yang melatih dan meningkatkan kapasitas diri perempuan ini merupakan jaringan yang efektif untuk merekrut kendidat anggota legislatif. Pada pemilihan umum pertama, tahun 1955, beberapa calon anggota legislatif perempuan merupakan anggota organisasi perempuan yang berafiliasi pada partai. Pada pemilu berikutnya, ada kecenderungan bahwa kandidat anggota legislatif berasal dari kalangan pimpinan organisasi-organisasi perempuan yang bernaung di bawah partai atau berafiliasi dengan partai. Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik.

Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat kaum perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor pekerjaan, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah dari pada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan. Dalam lintasan sejarah, setiap kelompok masyarakat mempunyai konsepsi ideologis tentang jenis kelamin. Di beberapa kelompok ma-syarakat, jenis kelamin digunakan sebagai kriteria yang penting dalam pembagian kerja. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut membagi peran, tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin, meskipun sebagaian di antaranya ada yang dipandang cocok dan wajar untuk dilakukan oleh kedua jenis kedua jenis kelamin. Pekerjaan yang diperuntukkan bagi laki-laki umumnya yang di-anggap sesuai dengan kapasitas biologis, psikologis, dan sosial sebagai laki-laki, yang secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat, tingkat resiko dan bahayanya lebih tinggi karena bekerja di luar rumah, dan tingkat keterampilan dan kerjasamanya lebih tinggi Adapun pekerjaan yang diperuntukkan bagi perempuan yang dikon-sepsikan sebagai orang yang lemah dengan tingkat resiko lebih rendah, cenderung bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi, dan lebih mudah terputus-putus. Oleh karena itu, tingkat keterampilan perempuan dianggap rata-rata lebih rendah di banding laki-laki. 

Referensi:

http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/download/183/154

Peran Perempuan Dalam Film "Marlina Si Pembunuh Dalam 4 Babak 2017"


     Nama : Husnul Hatima
     Nim : 17.01.051.038

Film merupakan salah satu hasil dari perkembangan komunikasi massa modern yang sudah menjadi media komunikasi audio visual yang melekat dengan kehidupan masyarakat modern dan dapat dinikmati dari kalangan mana pun dengan memiliki perbedaan rentang uusia dan latar belakang sosial. Sekarang ketertarikan kata feminisme sudah di angkat difilm layar lebar, yang di angkat dari kisah nyata di film “marlina si pembunuh empat babak”, Perempuan sering dianggap sebelah mata dengan dipandang sebagai sosok yang lemah, emosional, bekerja di dapur dan mengurus rumah bahkan perempuan dipandang serta dianggap sebagai objek seksualitas di dalam sebuah hubungan. Alasan inilah yang menyebabkan serta memunculkan perempuan dipandang sebagai manusia kelas dua (the second class) di bawah laki-laki sehingga menyebabkan perempuan tidak berhak untuk menentukan pilihn bagi kehidupannya sendiri (Subhan, 2004:39).
Salah satu film yang mengangkat tentang kisah seorang perempuan yaitu Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak

Film sebagai bentuk dari salah satu media massa tentu memiliki cara tersendiri dalam menggambarkan suatu hal atau suatu kejadian agar mudah dipahami atau dinikmati oleh khalayaknya. Tidak terkecuali film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. Dalam film ini banyak mencerminkan ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki serta perlawanan perempuan untuk mendapatkan keadilan.Film ini juga menggambarkan mengenai kehidupan perempuan wilayah Indonesia Timur yang jarang diangkat ke layar lebar oleh para sineas.


Representasi Perempuan Dalam Film
Representasi merupakan suatu proses sosial yang berhubungan dengan pola kehidupan dan budaya di dalam tatanan masyarakat tertentu yang dimana sebuah objek ditangkap oleh alat indra seseeorang dan masuk ke akal untuk dilakukan sebuah proses yang nanti hasilnya adalah sebuah ide atau konsep yang disampaikan kembali melalui bahasa. Dari proses tersebut dapat menimbulkan sebuah perubahan dalam konsep ideologi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan-pandangan hidup terhadap beberapa hal seperti: pandangan hidup tentang seorang perempuan.
Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak merepresentasikan bagaimana perempuan masih dipandang sebelah mata dalam kehidupan bermasyarakat dan mencoba untuk melawan stereotip serta mitos yang beredar di masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Representasi perempuan ini diwujudukan dalam bentuk scene atau adegan-adegan serta dialog antar tokoh. Marlina digambarkan sebagai sosok yang tenang, kuat dan pemberani sedangkan Novi merupakan sosok perempuan yang sedang hamil tua dan selalu mendapat tudingan berbau mitos dari suaminya dan Topan merupakan sosok gadis kecil yang memberikan kenyamanan dan rasa kasih sayang yang telah lama tidak dirasakan oleh Marlina.
Posisi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat masih dipandang dengan stereotip negatif.Perempuan sering dianggap sebelah mata dengan dipandang sebagai sosok yang lemah, emosional, bekerja di dapur dan mengurus rumah bahkan perempuan hanya dipandang dan dianggap sebagai sebuah objek seksualitas dalam hubungan.Film ini juga menggambarkan ideologi patriarki di mana laki-laki digambarkan memiliki otoritas.
Salah satu ideologi patriarki yang digambarkan dalam film ini adalah perempuan harus taat pada apa yang dikatakan oleh laki-laki yang menyebabkan perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Selain menganggap perempuan sebagai the second class dan tidak boleh menentukan pilihannya sendiri, dalam film juga digambarkan bagaimana sikap tangguh perempuan.Sebagai kaum yang kerap dianggap lemah, perempuan mampu menunjukkan sisi tangguhnya dengan caranya sendiri. Perilaku tangguh merupakan sikap yang kuat, kokoh, tahan banting, bertekat untuk berdiri tegak dan pantang menyerah.  Kategori selanjutnya adalah sisi keibuan dari seorang perempuan yang digambarkan melalui sosok Marlina dan Topan.Meskipun Marlina terlihat seperti sosok yang tak memiliki perasaan tapi dia tetaplah seorang perempuan yang juga memiliki sisi keibuan.Mencium kening merupakan bagian dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dan juga bentuk kedekatan diantara mereka berdua.

Kesimpulan
Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak memberikan gambaran seperti apa budaya patriarki serta stereotip dan mitos yang melekat dalam kehidupan perempuan. Perempuan digambarkan sebagai the second class yang harus ikhlas melayani laki-laki dari soal makan bahkan sampai hasrat seksualnya. Karakter sebagai pembunuh berdarah dingin diperlihatkan Marlina ketika meracuni makan malam para komplotan perampok dan kemudian ia memenggal kepala pimpinan perampok yang sedang memperkosanya. Sistem partiarki yang ingin dihancurkan oleh sosok Marlina tergambar dari tindakan melindungi dirinya dengan cara apapun yang ia lakukan.

     Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak menceritakan mengenai kehidupan seorang perempuan yang mendapatkan perlakuan kekerasan fisik, seksual dan verbal. Posisi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat masih dipandang dengan stereotip negatif. Perempuan sering dianggap sebelah mata dengan dipandang sebagai sosok yang lemah, emosional, bekerja di dapur dan mengurus rumah bahkan perempuan hanya dianggap sebagai objek seksualitas dalam sebuah hubungan serta perempuan digambarkan sebagai sosok yang tidak boleh menentukan pilihannya sendiri. Selain menampilkan perempuan sebagai sosok yang dianggap sebagai the second class dan tidak berhak menentukan pilihannya, dalam film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak juga menggambarkan sisi tangguh perempuan. Sebagai kaum yang kerap dianggap lemah, perempuan mampu menunjukkan ketangguhannya dengan caranya sendiri. Dalam film ini menggambarkan sedingin apa pun sifat Marlina ia juga seorang perempuan yang mempunyai naluri keibuan. Perempuan yang kuat dan tangguh tetap membutuhkan seseorang untuk melindunginya. Dalam film ini juga menunjukkan sisi berani perempuan untuk menyuarakan apa yang dia inginkan dan rasakan.

Daftar Pustaka

 Hidayat, Arif. 2010. Bahasa Tubuh: Tanda dalam Sistem Komunikasi. Jurnal, Vol.4, No.2, Purwokerto : STAIN Purwokerto. (Online) (http://ejournal.iainpurwokerto.ac.i d diakses pada 25 Oktober 2018).

     Maryam, Rini. 2017. Stereotipe dan Mitos dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal,       Vol.14, No.4,  Jakarta: Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham RI.

 Bungin, Burhan H.M2007.   Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu social, Jakarta : Kencana Prenama Media Group.
http://www.moviexplorers.com?review-marlina-the-murderer-in-four-acts-2017-a-wild-journey-that-lift-issue-about-woman-in-present-time/ (diakses pada 05 mei 2019)


Pengekangan Terhadap Wanita dalam Novel Dark Shadow

Oleh: Asni D.Suhupi

Didalm sebuah novel yang di tulis oleh yuyun batalia yang berjudul dark shadow. Di novel tersebut di kisahkan seorang perempuan yang bernama  kara yang dikekang. Wanita yang hanya menjadi pemuas nafsu. Ketika seorang perempuan ini ingin berontak dan meluapkan segala kemarahannnya maka perempuan ini akan mendapatkan perlakuan yang tidak wajar dan akan disiksa. Kara yang ingin menikah dengan seth harus menerima perlakuan yang tidak wajar dari seorang pria yang mencintainya dari dulu yaitu reagan. Di rumah reagan kara tidak mendapatkan perlakuan yang baik malah mendapatkan penyiksaan secara fisik dan batin. Di kediaman reagan kara harus mengikuti apa yang diinginnkan oleh reagan termasuk memuaskan nafsunya. Sutu hari kara berada di titk jenuh dimana dia ingin meluapkan kekesalannya dengan mencoba kabur akan tetapi ketahuan sama reagan disaat itu reagan membawanya kekamar dan menyiksa kara sampai kara harus pasrah apa yang dilakukan oleh reagan kepadanya sampai dengan melecehknnya. 
Suatu ketika kara merasakan sakit hati yang luar biasa karena perlakuan reagan kepadanya selama kara tingal dirumah reagan disaat  itu kara marah-marah kepada reagan. Meluapkan segala kekesalannya selama ini dengan memaki reagan mengunakan kata-kata yang tak seharusnya di ucapkan. Mendengar perkaataan itu akhirnya reagan makin emosi dan menambah penyiksaan kepada kara sampai kara harus jatuh sakit. Disini kara tidak bisa berbuat apa-apa karena dia dianggap makhluk lemah dan bisa diperlakukan seenaknya oleh laki-laki. Kesetaraan gander yang didapatkan oleh kara tidak sesuai dengan keinginan wanita pada umumnya. 

Didalam novel ini bukan hanya kara yng mendapatkan perlakuan yang tidak baik oelh laki-laki akan tetapi ibunya sendiri juga menjadi korban penyiksaan oleh kaum laki-laki. Ibu kara disiksa oleh ayahnya sendiri dengan meminumkan obat agar otak sang ibu tidak berfungsi dengan baik lagi dengan kata lain gila. Lelaki tersebut tidak lain adalah ayah kara sendiri. Tujuan dari ayahnya melakukan hal tersebut agar ayahnya puas bermain gila dengan wanita, tidak ada yang akan mengganggunya dlam melakukan hal tersebut.  Ayah kara bukan hanya meminumkan obat kepada kara akan tetapi juga menyiksa ibu kara apabila istrinya menegurnya perbuatannya itu.

Wanita di bungkam
Didalam novel tersebut permpuan tidak mendapat keadilannya. Sebagai seorang wanita. Kebebasan mereka tidak ada mereka sebagai wanita di bungkam. Beberapa teori mengatakan didalam ilmu komunikasi ada sebuah pembahasan yang khusu membahas suatu kelompok dimana kelompok itu melakukan pembungkaman dan mereka sulit untuk menyampaikan ide-ide yang mereka pikirkan, mereka merasa tertekan dengan keadaan yang sedang mereka alami banyak faktor yang menyebabkan mereka melakukan pembungkaman seperti berikut:

“Adanya tekanan dari kelompok dominan kepada kelompok kecil (minoritas) yang menyebkan terjadinya pembungkaman 
Contoh: adanya tekanan dan intimid asi terhadap wanita yang dianggap tidak mempunyai kekuatan apa-apa dibandingkan dengan seorang pria yang sudah dikenal kuat dari wanita”.

Adanya feminisme liberal
Tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller (1810-1850), Harriet Martineu (1802-1876), Angelina Grimke (1792-1873), dan Susan Anthony (1820-1906).47 
Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 bersamaan dengan semakin populernya arus pemikiran baru ―zaman pencerahan‖ (enlighmenth atau age of reason). Dasar yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang natural rights (hak asasi manusia) bahwa,48 setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu kebahagian. Namun dalam perjalanan sejarahnya di Barat, pemenuhan HAM ini dianggap lebih dirasakan oleh kaum laki-laki. Untuk mendapatkan hak sebagai warga negara, maka seseorang harus mempunyai rasionalitas yang memadai. Perempuan dianggap mahluk yang tidak atau kurang daya rasionalitasnya, sehingga tidak diberikan hak-hak sebagai warga negara seperti yang diberikan kepada laki-laki. 
Menurut feminis liberal bahwa, setiap laki-laki maupun perempuan mempunyai hak mengembangkan kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal, tidak ada lembaga atau individu yang membatasi hak itu, sedangkan negara diharapkan hanya untuk menjamin agar hak tersebut terlaksana. Diskriminasi seksual hanyalah pelanggaran hak asasi.49 Feminis liberal berpendapat bahwa ada dua cara untuk mencapai tujuan ini, yaitu: 
Dengan pendekatan psikologis yang membangkitkan kesadaran individu, antara lain melalui diskusi-diskusi yang membicarakan pengalaman-pengalaman perempuan pada masyarakat yang dikuasai laki-laki. 
Dengan menuntut pembaruan-pembaruan hukum yang tidak menguntungkan perempuan dan mengubah hukum ini menjadi peraturan-peraturan yang memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki. 

Agar persamaan hak antara laki-;laki dan perempuan pelaksanaanya dapat terjamin, maka perlu ditunjang dasar hukum yang kuat. Oleh karena itu, feminime liberal memfokuskan perjuangan pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi yang patriarki. 
Dari paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, perjuangan kaum feminis sosial mengaitkan dominasi laki-laki dengan proses kapitalisme, feminis radikal memusatkan perhatian pada masalah seksualitas, feminis liberal memusatkan perhatian kepada pengembangan kemampuan dan rasionalitas. Kendatipun berbeda, tetapi intinya sama, yaitu mereka berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, persamaan yang pada akhirnya tidak akan terjadi ketimpangan gender di dalam masyarakat.

Perlu adanya pendidikan
  kekuasaan atau politik memberikan pengaruh pada semua lini kehidupan manusia, termasuk dalam sistem pendidikan. Hubungan antara kekuasaan dan pendidikan terwujud ke dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai karakteristik setting sosial politik di mana hubungan itu terjadi. Dalam suatu komunitas, hubungan tersebut bisa saja sangat kuat dan riil, dan dalam masyarakat lainnya hubungan tersebut bisa saja lemah dan tidak nyata. Pola hubungan antara pendidikan dan politik di negara-negara berkembang berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Dalam masyarakat yang lebih primitif, yang berdasarkan pada basis kesukuan (tribal-based societies), misalnya, adalah lazim bagi orang tua dari satu suku memainkan dua peran, sebagai pemimpin politik dan sebagai pendidik. Mereka membuat keputusan-keputusan penting dan memastikan bahwa keputusan-keputusan ini diimplementasikan dan diterapkan. Mereka juga mempersiapkan generasi muda untuk memasuki kehidupan dewasa dengan mengajarkan mereka tekhnik-tekhnik berburu dan mencari ikan, metode-metode berperang dan sebagainya. Selain itu, mereka juga menanamkan pada generasi muda mereka kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi, dan mempersiapkan mereka untuk berperan secara politis.





DAFTAR PUSTAKA

Syamsiah,Nur.2014.wacana kesetaraan gander. Fakultas dakwah dan komunikasi UIN Alaudin Makassar. halaman 18.
Suwastini, Nk Arie.2013. perkembangan feminisme barat dari abad kedelapan belas hinnga postfeminisme: sebuah tinjauan teoritis. Jurusan pendidikan bahasa inngris universitas pendidikan ganesaha singaraja, Indonesia. Halaman8. 
Ulya, Atiyatul. 2013. Konsep mahram jaminan keamanan atau pengekangan perempuan. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Juditha, Christiany. Gander dan seksualitas dalam konstruksi media massa. Balai besar pengkajian dan pengembangan komunikasi dan informatika (BBPPKI) Makassar kementrian komunikasi dan informatika RI.
Astuti, Yanti Dwi. 2016. Media dan gander (studi deskriptif representasi stereotipe perempuan dalam iklan di televisi swasta). Dosen prodi ilmu komunikasi UIN sunan kalijaga yogyakarta.
Kurniawati, novie. 2012. Perilaku berpacaran pada remaja usia madya: studi kasus di daerah kabupaten merangin propinsi jambi. Fakultas psikologi universitas muhammadiyah surakarta.
Batalia, Yuyun. 2014. Dark shadaus. Yuyun batalia

GENDER DAN FEMINISME


Nama: Nicolas Jordan Alfayet
Nim   : 17.01.051.066

Gender dan feminisme sudah menjadi masalah yang penting dan masih terus terjadi sampai saat ini, terutama di indonesia. Masalah gender dan feminisme ini memperlihat ketidak adilan hak dan kewajiban terhadap kaum wanita,ini lah yang menyebabkan adanya peerbedaan gender yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari,contohnya di dunia pekerjaan, bidang pekerjaan pria dan wanita selalu di bedakan,cenderung pekerjaan wanita lebih ringan di bandingkan pria, karena tidak menutup kemungkinan juga pekerjaan laki-laki bisa di lakukan oleh perempuan, perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan ketidak adilan bagi perempuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan ketidak-adilan, terutama terhadap perempuan, ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur sosial dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban.
 Permasalahan gender dan feminisme ini memperlihatkan perbedaan laki-laki dan perempuan,bagaimana laki-laki lebih leluasa mendapatkan hak dan kewajibannya dari pada perempuan yang terlalu di batasi, maka karena adanya masalah ini banyaknya muncul gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok gender dan feminisme ini untuk menyuarakan keadilan terhadap kaum perempuan yang kurang mendapatkan hak dan kewajibannya.dan banyak yang berfikir juga bagaimana masalah gender ini memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua. Pemikiran seperti ini beranggapan bahwa laki-laki di anggap lebih berperan dalam berbagai kegiatan, dan mempuanyai kepentingan yang lebih besar dari pada perempuan.perbedaan ini tidak hanya tampak secara fisik tapi juga dalam struktur sosial dan budaya masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Murteza Mutahhari, Perempuan dan Hak-haknya dalam Islam. Alih bahasa oleh M. Hashem dari “The Rights of Women in Islam.” (Bandung: Pustaka, 1985), h. 96-9

Anang Haris Himawan, Teologi Feminisme dalam Budaya Global: Telaah Kritis Fiqh Perempuan, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VII No. 4. 1997, h. 37.

Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar, 2002), h. 22.




REPRESENTASI FEMINISME DALAM IKLAN TELEVISI


Dian Fajar Utami 17.01.051.025

Pada umumnya dalam iklan perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestic seperti masalah dapur, sumur, mengurus anak, belanja untuk kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Mereka terkadang pula diposisikan sebagai subordinat laki-laki, misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang kebutuhan laki-laki. Sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan bermasyarakat; banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan atau adat masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini.

Di India ada sebuah ungkapan membesarkan anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain. ((Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hal. 67.)) Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun yang lalu misalnya Aristoteles menyebarkan ajarannya yang mengatakan bahwa laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna. Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Budiman, sulit dipercaya bahwa perempuan punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip. Schopenhauer dalam Budiman, mengungkapkan bahwa perempuan dalam segala hal terbelakang, tidak sanggup berpikir dan berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak.

Perempuan hanya tercipta untuk beranak. Pendapat Spock seperti dikutip oleh Budiman menyebutkan bahwa ”perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang, pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya secara seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu”. Ide bahwa perempuan lebih ’lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui agama-agama besar dunia. Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak dilahirkan sebagai perempuan

Contoh lainnya ujarnya adalah agama tertentu mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat yang diberikan Tuhan pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama. ((Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia, 1982, hal. 6-8.)) Kalau diamati lebih jauh hampir di sebagian besar iklan yang ditayangkan di media massa selain menempatkan perempuan dalam perannya sebagai‘orang kedua’atau disubordinasikan pada peran laki-laki,perempuan terkadang hanya dipakai sekedar sebagai pemanis saja karena perannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesan pokok iklan.

Mereka ditampilkan dengan pakaian seksi, mengekspos tubuhnya, membuka sedikit dadanya atau menunjukkan betisnya yang indah, dan lain sebagainya untuk menimbulkan perhatian saja. Dalam perkembangan selanjutnya berbagai stereotipe perempuan yang lemah dan selalu menjadi subordinat pria dalam penampilannya di berbagai iklan mulai menunjukkan perubahan dimana posisi perempuan terkadang ditampilkan lebih ‘berkuasa’dan perkasa’dari laki-laki. Atau mereka tidak lagi ditampilkan sebagai makhluk yang lemah dan pasif namun kuat, gesit dan lincah. Salah satu contoh kasusnya adalah sosok gadis cantik Dian Sastro dalam iklan produk sabun mandi yang membuat pria-pria penggoda keteteran karena kemampuan beladirinya yang lihai. Atau Zhang Zi Yi dalam iklan produk kartu kredit yang juga membuat pria bertekuk lutut karena keahlian beladirinya.

Iklan cenderung menggambarkan perempuan dalam posisi yang subordinatif. Hal ini karena adanya suatu anggapan di masyarakat pada umumnya bahwa wanita itu pasif, kurang cerdas, emosional sehingga menyebabkan ia terkadang bertindak irasional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.Misalnya dalam iklan perempuan digambarkan sebagai orang kedua, yang keberadaannya dalam struktur sosial kemasyarakatan di bawah laki-laki. Meski terkadang ia digambarkan dalam peran- peran yang bersifat publik seperti perkantoran dan bisnis namun jarang sekali yang diposisikan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin).

Pada umumnya wanita digambarkan sebagai karyawan/bawahan, misalnya sekretaris, sementara laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin atau bos). Sering pula dalam karya iklan perempuan ditampilkan secara dominan dalam arti ia menjadi daya tarik dan perhatian pemirsa namun kalau diamati lebih jauh identitas dan peran sosialnya tidak jelas. Sehingga kesan yang nampak secara sosial terhadap keberadaannya hanyalah sebagai pelengkap dan pendukung keberadaan laki-laki. Misalnya, sebagai pendamping suami atau laki-laki, baik itu dalam gambaran kehidupan rumah tangga, dalam hubungan kerja, maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.

Dikotomi nature dan culture menunjukkan pemisahan di antara laki-laki dan perempuan, yang satu memiliki status  yang lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang memiliki sifat “alam” (nature)harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture).Usaha “membudayakan” perempuan tersebut telah menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Abdullah, 2006:3).

Penempatan yang tidak seimbang menjadi kekuatan pemisahan sektor kehidupan dalam sektor “domestik” dan “publik”. Perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik dan laki-laki ditempatkan untuk mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai lembaga sosial yang kemudian menjadi fakta tentang status dan peran perempuan. Televisi dalam proses ini berperan aktif menegaskan kedudukan dan peran perempuan dengan merepresentasikan perempuan baik sebagai ibu maupun sebagaiistri yang selalu terkait dengan rumah, masakan, pakaian, kecantikan dan kelembutan.


Daftar Pustaka

https;//lakilakibaru.or.id/maskulinitas –perempuan – dalam – iklan
htpps;//repositoorii.uin-alaudin.ac.id perempuan dalam iklan
Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia, 1982, hal. 6-8.))

Thursday, May 30, 2019

ARUS FEMINISME ISLAM DALAM FILM RELIGI “99 CAHAYA DILANGIT EROPA



Nama : Rizqi Masyhury Siregar
Nim :  17.01.051.081

Sebuah faham dan keyakinan yang menegaskan bahwa perempuan merupakan makhluk dari alam manusia, yang menuntut akan keadilan dalam kehidupan yang sama dan setara dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan, kesetaraan gender merupakan kesetaraan yang dimaksud dalam faham ini yang mana memiliki tujuan agar perempuan juga dapat berpartisipasi dengan aktif dalam kegiatan sosial meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Faham ini memiliki nama yaitu Feminisme (Nuryati, 2015).

Sudah menjadi sebuah keharusan dan sepatutnya manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesetaraan yang sama dalam kehidupan tanpa adanya pihak yang terpinggirkan ataupun didominasi. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki derajat yang sama disisiNya. Manusia pun dibekali hati, akal dan pikiran yang merupakan sebuah pembeda dengan makhluk ciptaan Allah lainnya seperti hewan. Dalam Q.S Al-Hajj Ayat 5, Allah SWT didalam firmannya telah menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari segumpal tanah, kemudian setetes air mani, kemudian menjadi segumpal darah, menjadi daging yang ditempatkan didalam rahim dan kemudian dilahirkan menjadi seorang bayi yang dikarunia usia hingga pada akhirnya diwafatkan (Lisa, 2017).

Selaras dengan penjelasan Al-Qur’an diatas, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 3 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta berhak atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kedudukan yang setara dalam kehidupan sosial dan agama, seperti dalam hal menentukan nasib dan kehidupannya guna mencapai kesejahteraan hidup baik sebagai masyarakat maupun sebagai warga negara. Perempuan merupakan mitra sejajar pria dalam meningkatkan pembangunan maupun kehidupan keluarga, sehingga tidak ada alasan bagi laki-laki menempatkan perempuan sebagai kelas kedua, apalagi mendominasi dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Namun, tidak semua perempuan yang beruntung dan mendapatkan keadilan atas hak mereka sebagai perempuan.

Dalam kemajuan teknologi yang kita alami saat ini, segala aspek dalam kehidupan pun memiliki kemajuan yang signifikan seperti halnya politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Banyak hal yang berubah dari zaman ke zaman dari aspek-aspek tersebut bahkan memberikan dampak tersendiri juga bagi manusia. Seperti halnya dunia perfilman, Indonesia merupakan salah satu negara produsen film terbanyak di dunia baik itu dari genre komedi, romantis hingga genre religi. Keberadaan perempuan pun dari masa ke masa mengalami perubahan yang signifikan juga, dimana yang dulunya perempuan merupakan makhluk yang paling berdosa dan sumber dari segala dosa bagi para petinggi eropa pada tahun 1960-an dan sekarang perempuan pun berani mengeluarkan aspirasinya, menginginkan hak-haknya diberikan kepada mereka sebagaiman mestinya makhluk hidup. Perempuan pada zaman sekarang ini menurut pandangan penulis adalah tidak lagi menginginkan kesetaraan dengan laki-laki akan tetapi mereka menginginkan peran, partisipasi dan keberadaan mereka jauh diatas laki-laki.

Seiring dengan perkembangan waktu, arus-arus feminisme islam ini mulai menyebar ke berbagai sisi kehidupan manusia. Gerakan-gerakan feminisme ini tidak hanya berlangsung di dunia nyata saja melainkan mulai bergerak ke dunia maya dan dunia sastra. Salah satunya didalam dunia perfilman, seperti yang dikutip dari Hakim(2013) film Ayat-ayat Cinta (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2008), Tiga Cinta Tiga Doa (2008), Do’a yang Mengancam (2008), Ketika Cinta Bertasbih (2009), Dalam Mihrab Cinta (2010), Tanda Tanya (2011), Cinta Suci Zahrana (2012). Kesemua itu merupakan film religi yang menghadirkan perempuan muslimah sebagai inspiring people, sosok yang terdidik dan mempunyai relasi yang setara dengan lawan jenisnya baik dalam ruang pribadi maupun ruang publik.

Film merupakan salah satu media untuk para perempuan memberikan dan mengaspirasikan suaranya kepada orang banyak bahwa mereka pantas untuk dilihat, didengar dan mereka pantas untuk dihargai. Dalam film-film yang berkembang saat ini, banyak dari perempuan menjadi pemeran utama sebagai inspiring people, yang terkadang menterbelakangkan laki-laki dalam beberapa aspek kehidupan. Dikutip dari tulisan Hakim (2013), ia membuat penelitian mengenai perubahan dalam hal alur cerita dalam film religi, yang mana dulunya perempuan merupakan pihak yang tersubordinasi/terpinggirkan dalam  sebuah film dan tingkat ketaatan perempuan dalam film religi dulunya hanya sebatas bagaimana kepatuhan atau kepasrahan si istri (perempuan)  terhadap si suami (laki-laki).

Namun, berbeda halnya dengan keadaan yang sekarang peran perempuan dalam film religi mengalami sedikit pergeseran dan perubahan. Dahulunya perempuan merupakan pihak yang terpinggirkan dalam sebuah film akan tetapi kini tidak, bahkan perempuan dijadikan sebagai orang yang menginspirasi orang banyak dan membuat peran laki-laki dalam film tersebut seakan-akan hilang. Beberapa film yang memiliki spesifikasi seperti yang disebutkan sebelumnya seperti 99 Cahaya di Langit Eropa Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.

Dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa ini, dapat dirasakan atmosfernya bahwa keberadaan perempuan bernama Fatma Pasha melupakan semua penontonnya dengan adegan-adegan yang lain dalam film itu. Fatma memiliki peran yang cukup besar dalam alur cerita film tersebut dimana fatma merupakan seorang muslimah berasal dari Turki yang bermigrasi ke negara Austria tepatnya di Vienna. Karena selalu mengenakan hijab dikepalanya para pemilik toko di Vienna pun tidak mengizinkannya untuk bekerja di perusahaan mereka dengan berbagai alasan, namun alasan yang utamanya adalah karena hijab tersebut.

Hanum, merupakan salah satu perempuan yang juga bermigrasi ke Austria bersama suaminya Rangga yang melanjutkan studinya di negara tersebut, selain itu ia juga bekerja sebagai reporter disana. Yang menarik dalam film ini adalah Fatma merupakan Inspiring People bagi Hanum yang mana dari Fatma, ia mendapatkan pelajaran yang berharga dari setiap perjalanan mereka. Dalam salah satu scene didalam filmnya, ketika mereka sedang makan siang di salah satu toko roti di Vienna, ada beberapa orang laki-laki yang merendahkan negara Turki melalui bentuk roti yang mereka makan tersebut dan mereka pun mendengarnya. Hanum merasa marah dan ingin memberikan pelajaran kepada beberapa laki-laki tersebut namun Fatma melarangnya dan membayar makanan orang-orang yang menghina negaranya tersebut. Sontak Hanum kecewa dan mengatakan Fatma sebagai orang yang pengecut namun Fatma membalas dengan perkataan yang lemah lembut.

Di scene lainnya, Fatma juga memberikan pengetahuan lebih mengenai Sejarah Islam di Eropa kepada Hanum dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di Negara Austria seperti Museum dan tempat-tempat lainnya yang memperlihatkan bagaimana perjuangan Islam dulunya. Fatma juga menjelaskan bahwa dulunya negara-negara Eropa merupakan negara yang sudah dtaklukkan oleh Islam dan dulunya Islam memiliki kekuasaan yang sangat besar dibumi eropa. Tak hanya sampai disitu, ketika Hanum hendak pergi ke Prancis Fatma menyarankan agar Hanum bertemu dengan teman lamanya Fatma yang bernama Marion yang juga merupakan seorang muslimah. Bersama Marion, Hanum juga diajarkan lagi bagaimana sejarah Islam di Paris melalui bangunan sejarah, lukisan sejarah dan juga melalui cerita-cerita.

Fatma dan anak perempuannya Aisha juga merupakan orang yang memiliki peran besar dalam kehidupan Hanum, berkat mereka berdualah kehidupan Hanum berubah secara siginifikan dalam hal kehidupan beragama. Hanum lebih mengetahui bagaimana sejarah Islam, bagaimana hukum Islam, Hanum yang sebelumnya tidak berhijab akhirnya memilih berhijab setelah edukasi yang diberikan oleh Fatma dan juga anaknya Aisha mengenai keutamaan berhijab dan juga dalam film ini ada salah satu scene dimana laki-laki eropa menghormati perempuan yang mengenakan Hijab. Namun, Hanum juga memberikan bantuan kepada Fatma dengan mengajarkan kepada Fatma dan teman-temannya dalam berbahasa Inggris.

Setelah diamati, seluruh pemeran perempuan dalam film ini digambarkan sebagai sosok yang mandiri dalam bidang ekonomi, bergerak dibidang publik dan memiliki pendidikan yang baik. Seperti Hanum merupakan seorang Reporter di Vienna, Fatma sebagai sosok wanita yang kuat dalam menjalani kehidupan di negara minoritas muslim, Marion sebagai Ilmuwan di Arab World Institue Paris. Karakter muslimah yang memiliki sifat mandiri yang dapat pergi kemana saja, memiliki pendidikan tinggi dan memiliki sifat sabar, tabah dan kuat ditonjolkan dalam film ini.

Dengan demikian, penulis memahami bahwa film ini memiliki “bau-bau” Feminisme didalamnya yang mana di dalam film ini terlihat secara tidak langsung, para pemeran perempuan memiliki kesetaraan dan kebebasan yang sama dengan laki-laki meliputi pendidikan, sosial, politik dan juga di ruang publik, namun dengan tetap mendasarkan pada rasionalitas agama dan dihubungkan dengan realitas kontemporer. Seakan-akan pemeran laki-laki didalam film ini tersubordinasi secara tidak langsung karena peran perempuan yang juga secara tidak langsung mendominasi.

DAFTAR PUSTAKA

Apriani, Fajar. (2010) Berbagai Pandangan Mengenai Gender dan Feminisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Mulawarman.
Hakim, Lukman. (2013) Arus Feminisme Islam dalam Film Religi. Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 3. No. 2. Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Hamdi, Saipul. (2017) Pesantren dan Gerakan Feminisme di Indonesia, IAIN Samarinda Press, Samarinda, Cetakan I.
Junaidi, Heri & Hadi, Abdul. Gender dan Feminisme dalam Islam. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kholil, Muhammad. Feminisme dan Tinjauan Kritis terhadap Konsep Gender dalam Studi Islam. UIM Pamekasan.
Lisa, Nur. (2017) Kedudukan Perempuan dalam Kumpulan Cerpen SAIA Karya Djenar Maesa Ayu (Feminisme Marxis). Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar.
Mahmada, N.D. (2002), ‘Hijabisasi perempuan dalam ruang publik’ in Wajah Liberal Islam di Indonesia,eds L. Assyaukanie, JIL, Jakarta, pp.
Maulana, Abdullah Muslich Rizal. (2013) Feminisme sebagau Diskursus Pandangan Hidup. Jurnal Kalimah, Vol. II, No. 2. Jurusan Ilmu Akidah, Fakultas Ushuluddin, Institut Studi Islam Darussalam.
Nuryati. (2015) Feminisme dalam Kepemimpinan. Jurnal Istinbath, No. 16. UIN Raden Fatah Palembang.
Sofranita, Beauty Dewi & Wahyuningsih, Fahmi. ( 2015) Pemikiran dan Tindakan Tokoh Helen Dalam FEUCHTGEBIETE Karya Charlotte Roche. Jurnal Identitaet, Vol. IV, No. 2. Program Studi Sastra Jerman, Fakultas Bahasa Dan seni, Universitas Negeri Surabaya.
Zulfikri. Menelisik Sejarah Pendekatan Feminisme dalam Islam. STIT Diniyyah Puteri Rahmah El-Yunusiyyah.