(Foto: Instagram/@indonesiatanpafeminis)
Feminisme merupakan
sebuah gerakan yang dimulai di Indonesia oleh R.A Kartini pada abat ke-18, hal
ini dimulai karena pemikiran Kartini waktu itu dipengaruhi oleh kolonialisme
yang ikut ambil bagian dalam sistem feodalisme terhadap kaum miskin. Menurut
Kartini, karakter masyarakat Jawa yang patriarkat membuat perempuan Indonesia
menjadi terhambat perkembangan dan kemajuannya. Pemikiran feminisme sangat erat
kaitannya dengan emansipasi. Motivasi utama dari feminisme adalah untuk
mengakhiri eksploitasi yang banyak dialami oleh wanita.
Mengakhiri Ekploitasi dengan gerakan feminism, namun sebenamya
siapa yang menguasai tubuh perempuan? Gayle Rubin (1998:147) salah satu feminis
libertarian-radikal menganggap bahwa sistem gender menjadi sebuah kesatuan yang
mengatur perubahan transformasi sosial dan seksualitas biologis menjadi produk
aktivitas manusia. Perbincangan mengenai eksistensi tubuh, tanda dan hasrat
perempuan tidak dapat dilepaskan dan pengaruh gerakan pembebasan tubuh , tanda,
dan hasrat.
Menurut Foucault (dalam Yasraf, 2000:114) bahwa berbagai potensi hasrat yang ada pada diri manusia termasuk perempuan mempunyai peluang sebagai bentuk baru kekuasaan di dalam masyarakat. Menurutnya, posisi tubuh di dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dan pembicaraan mengenai hubungan antara hasrat, tubuh dan kekuasaan. Terdapat dua kekuasaan yang berkaitan dengan tubuh, pertama kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak tanduk tubuh secara represif. Kedua, kekuasaan yang memancar dan dalam tubuh itu sendiri. yaitu berupa hasrat-hasrat. Revolusi tubuh adalah sebuah kondisi, di mana dan dalam tubuh ini menentang kekuasaan atas tubuh. Dengan terbebasnya tubuh dan kekuasaan atas tubuh maka apa yang dijanjikannya adalah berkembang biak dan berlipat gandanya secara bebas discource seksual dan penggunaan tubuh tanpa perlu diikat oleh konvensi moral yang baku.
Di dalam sistem ekonomi libido, eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh ke dalam berbagai bentuk komoditi bukanlah dianggap sebagai suatu ketidakadilan terhadap perempuan. Moralitas ekonomi libido adalah bahwa arus libido itu baik, bahwa penyebaran pengaruhnya menyenangkan. Sebuah betis yang terbuka, sebuah payudara yang tersingkap, dianggap bukan sebuah bentuk marginalisasi atau subordinasi. Ia adalah sebuah sistem negosiasi. Tawaran seperti ini adalah pintu pembuka bagi menggeliatnya tali libido di dalam wacana kapitalisme, sebuah pintu pembuka yang selama ini ditolak oleh para politisi dan birokrasi (Yasraf, 2000:116).
Tubuh posmodern, dalam pandangan Lyotard (1997:25) adalah sebatang tubuh yang sepenuhnya afirmatif, bagian-bagian tubuh yang menghasilkan kekuatan libido, yang dengan bangga dikonsumsi joussance. Setiap orang dapat mewujudkan fantasinya lewat tubuh yang kemudian dapat menjadi alat tukar libido. pengumbaran fantasi-fantasi libido tersebut akan berguna selama ia dapat ditukarkan dengan uang.
Di dalam kapitalisme, tubuh perempuan dipertukarkan sebagai nilai tukar lewat bahasa tanda tubuh. Penelitian yang dilakukan Lyotard (1997) menemukan bahwa Citra tubuh yang menyertai penawaran sebuah komoditi merupakan satu komponen dan sistem komunikasi kapitalisme. Tubuh perempuan, lewat posisinya sebagai metakomoditi sangat bergantung pada manipulasi libidonya yang merupakan strategi baku di dalam penciptaan semua objek dan pertukarannya. Dalam ekonomi libido, kemampuan meningkatkan daya emosi dan sebatang tubuh perempuan sebagai alat tukar, secara Iangsung akan menentukan harga libidonya.
Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi tubuh perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi dengan berbagai cara dalam sebuah ajang permainan tanda dan semiotisasi tubuh. Dalam penayangan iklan misalnya, tubuh perempuan dieksploitasi untuk produk tertentu. Iklan mobil secara kategorial dianggap sebagai barang laki-laki, menampilkan perempuan bergaun malam dengan belahan yang tinggi sehingga kelihatan betisnya. Banyak kreator iklan yang menambahkan nilai lain yakni konotasi tertentu agar bisa diasosiasikan macam-macam, dan kalau perlu dibuat menjurus agar mudah dihafalkan dan tertanam dibenak konsumen. Sebagai contoh ikian permen dengan kalimat kunci “dingin-dingin empuk“.
Menurut Foucault (dalam Yasraf, 2000:114) bahwa berbagai potensi hasrat yang ada pada diri manusia termasuk perempuan mempunyai peluang sebagai bentuk baru kekuasaan di dalam masyarakat. Menurutnya, posisi tubuh di dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dan pembicaraan mengenai hubungan antara hasrat, tubuh dan kekuasaan. Terdapat dua kekuasaan yang berkaitan dengan tubuh, pertama kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak tanduk tubuh secara represif. Kedua, kekuasaan yang memancar dan dalam tubuh itu sendiri. yaitu berupa hasrat-hasrat. Revolusi tubuh adalah sebuah kondisi, di mana dan dalam tubuh ini menentang kekuasaan atas tubuh. Dengan terbebasnya tubuh dan kekuasaan atas tubuh maka apa yang dijanjikannya adalah berkembang biak dan berlipat gandanya secara bebas discource seksual dan penggunaan tubuh tanpa perlu diikat oleh konvensi moral yang baku.
Di dalam sistem ekonomi libido, eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh ke dalam berbagai bentuk komoditi bukanlah dianggap sebagai suatu ketidakadilan terhadap perempuan. Moralitas ekonomi libido adalah bahwa arus libido itu baik, bahwa penyebaran pengaruhnya menyenangkan. Sebuah betis yang terbuka, sebuah payudara yang tersingkap, dianggap bukan sebuah bentuk marginalisasi atau subordinasi. Ia adalah sebuah sistem negosiasi. Tawaran seperti ini adalah pintu pembuka bagi menggeliatnya tali libido di dalam wacana kapitalisme, sebuah pintu pembuka yang selama ini ditolak oleh para politisi dan birokrasi (Yasraf, 2000:116).
Tubuh posmodern, dalam pandangan Lyotard (1997:25) adalah sebatang tubuh yang sepenuhnya afirmatif, bagian-bagian tubuh yang menghasilkan kekuatan libido, yang dengan bangga dikonsumsi joussance. Setiap orang dapat mewujudkan fantasinya lewat tubuh yang kemudian dapat menjadi alat tukar libido. pengumbaran fantasi-fantasi libido tersebut akan berguna selama ia dapat ditukarkan dengan uang.
Di dalam kapitalisme, tubuh perempuan dipertukarkan sebagai nilai tukar lewat bahasa tanda tubuh. Penelitian yang dilakukan Lyotard (1997) menemukan bahwa Citra tubuh yang menyertai penawaran sebuah komoditi merupakan satu komponen dan sistem komunikasi kapitalisme. Tubuh perempuan, lewat posisinya sebagai metakomoditi sangat bergantung pada manipulasi libidonya yang merupakan strategi baku di dalam penciptaan semua objek dan pertukarannya. Dalam ekonomi libido, kemampuan meningkatkan daya emosi dan sebatang tubuh perempuan sebagai alat tukar, secara Iangsung akan menentukan harga libidonya.
Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi tubuh perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi dengan berbagai cara dalam sebuah ajang permainan tanda dan semiotisasi tubuh. Dalam penayangan iklan misalnya, tubuh perempuan dieksploitasi untuk produk tertentu. Iklan mobil secara kategorial dianggap sebagai barang laki-laki, menampilkan perempuan bergaun malam dengan belahan yang tinggi sehingga kelihatan betisnya. Banyak kreator iklan yang menambahkan nilai lain yakni konotasi tertentu agar bisa diasosiasikan macam-macam, dan kalau perlu dibuat menjurus agar mudah dihafalkan dan tertanam dibenak konsumen. Sebagai contoh ikian permen dengan kalimat kunci “dingin-dingin empuk“.
Visualisasinya seorang perempuan
kehujanan, kemudian makan permen dan dipeluk laki-laki di mana laki-laki
tersebut merasakan hangatnya payudara perempuan sambil mengucapkan kalimat
kunci tersebut. Ada unsur pelecehan perempuan dalam contoh kedua iklan
tersebut, bukankah permen adalah konsumsi bagi semua jenis kelamin dalam semua
tingkat usia? Kenapa harus ada citra jantan dan kenapa pula harus ada konotasi
“menjurus” bahkan terjadi eksploitasi seksual pada perempuan?
Pada tayangan hiburan musik, khususnya musik dangdut-eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan sengaja ditonjolkan dengan gerakan dan tanda-tanda semiotika tubuh yang mengarah pada dorongan sensualitas, erotika, dengan memperlihatkan menonjolnya penggunaan perempuan sebagai objek dan hasrat. Dalam musik dangdut pada khususnya, gerakan-gerakan pinggul atau dada sering dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai simulasi dan gerakan-gerakan seksual. Bila kita sadari, hampir setiap malam dan hampir seluruh stasiun televisi menayangkan musik (khususnya musik dangdut) dengan gaya penampilan menggunakan tubuh perempuan untuk dieksploitasi secara vulgar, sehingga pinggul dan dada menjadi semacam objek fetish utama.
Dalam tayangan hiburan lawak, artis bintang tamu di dalam acara lawakan cenderung dijadikan objek seksual laki-laki di dalam lawakan atau objek voyeurisme dieksploitasi potensi hasrat dan libidonya, serta dimuati dengan berbagai mistifikasi tanda dan makna sebagai objek pemujaan laki-laki. dalam hal ini acara lawak lebih banyak mengkonstruksi laki-laki sebagai yang aktif dalam wacana seksual sementara perempuan sebagai yang pasif.
Pada tayangan hiburan musik, khususnya musik dangdut-eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan sengaja ditonjolkan dengan gerakan dan tanda-tanda semiotika tubuh yang mengarah pada dorongan sensualitas, erotika, dengan memperlihatkan menonjolnya penggunaan perempuan sebagai objek dan hasrat. Dalam musik dangdut pada khususnya, gerakan-gerakan pinggul atau dada sering dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai simulasi dan gerakan-gerakan seksual. Bila kita sadari, hampir setiap malam dan hampir seluruh stasiun televisi menayangkan musik (khususnya musik dangdut) dengan gaya penampilan menggunakan tubuh perempuan untuk dieksploitasi secara vulgar, sehingga pinggul dan dada menjadi semacam objek fetish utama.
Dalam tayangan hiburan lawak, artis bintang tamu di dalam acara lawakan cenderung dijadikan objek seksual laki-laki di dalam lawakan atau objek voyeurisme dieksploitasi potensi hasrat dan libidonya, serta dimuati dengan berbagai mistifikasi tanda dan makna sebagai objek pemujaan laki-laki. dalam hal ini acara lawak lebih banyak mengkonstruksi laki-laki sebagai yang aktif dalam wacana seksual sementara perempuan sebagai yang pasif.
Dalam
tayangan sinetronpun, eksploitasi tubuh perempuan nampak menonjol dan beberapa
cerita yang dibuat. Jika dilihat pada sinetron komedi misalnya, eksploitasi
tubuh perempuan ditayangkan dengan cara para perempuan berpakaian mini untuk
diperlihatkan paha mulusnya yang kadang-kadang antara isi cerita dengan pakaian
yang dikenakan perempuan tidak sesuai. Akibatnya, dalam sinetron penggunaan
tubuh perempuan sebagai ilustrasi tampak sangat menonjol, sehingga para artis
tersebut sering digunakan sebagai eye-catcher tontonan.
Eksploitasi tubuh perempuan dalam berbagai hiburan di televisi, secara umum menunjukkan beroperasinya ideologi patriarki di dalamnya, yang menempatkan perempuan pada posisi subordinasi, posisi pelengkap, posisi objek hasrat dan dunia laki-laki yang dominan. media hiburan lawak dan musik di televisi, menjadi sebuah kendaraan dalam menciptakan common sense di dalam masyarakat yang melanggengkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Meskipun demikian, akhir-akhir ini terdapat berbagai perubahan tampilan media yang menandakan terjadinya pergeseran posisi perempuan di dalam relasi gender di dalamnya.
Eksploitasi tubuh perempuan dalam berbagai hiburan di televisi, secara umum menunjukkan beroperasinya ideologi patriarki di dalamnya, yang menempatkan perempuan pada posisi subordinasi, posisi pelengkap, posisi objek hasrat dan dunia laki-laki yang dominan. media hiburan lawak dan musik di televisi, menjadi sebuah kendaraan dalam menciptakan common sense di dalam masyarakat yang melanggengkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Meskipun demikian, akhir-akhir ini terdapat berbagai perubahan tampilan media yang menandakan terjadinya pergeseran posisi perempuan di dalam relasi gender di dalamnya.
Pergeseran
ini terjadi sebagai akibat didekonstruksinya batas-batas oposisi biner, yang
sebelumnya memisahkan dunia perempuan dan laki-laki pasif/aktif, lemah/kuat,
tak berdaya/kuasa, dan sebagainya. Meski berbagai perubahan merupakan sebuah
harapan yang dijanjikan oleh media televisi terhadap perempuan, sesungguhnya
mengandung perangkap di dalamnya, yang hanya membawa pada berbagai perubahan
yang semu, bukan perubahan yang hakiki.
Lantas dengan segala bentuk ekploitasi yang terjadi setelah gerakan feminism di Indonesia hadir, apakah Indonesia memang masih membutuhkan yang namanya feminism? Bahkan sekarang telah muncul Kelompok anti-feminis, Indonesia Tanpa Feminis, meluncurkan kampanye media sosial di tengah perdebatan sengit tentang undang-undang kekerasan seksual yang diajukan, yang memicu perdebatan antara kaum feminis dan beberapa kelompok Islam. Seperti diberitakan The Jakarta Post, kelompok tersebut meyakini prinsip “Tubuhku bukan milikku; Indonesia tidak membutuhkan feminisme.”
Lantas dengan segala bentuk ekploitasi yang terjadi setelah gerakan feminism di Indonesia hadir, apakah Indonesia memang masih membutuhkan yang namanya feminism? Bahkan sekarang telah muncul Kelompok anti-feminis, Indonesia Tanpa Feminis, meluncurkan kampanye media sosial di tengah perdebatan sengit tentang undang-undang kekerasan seksual yang diajukan, yang memicu perdebatan antara kaum feminis dan beberapa kelompok Islam. Seperti diberitakan The Jakarta Post, kelompok tersebut meyakini prinsip “Tubuhku bukan milikku; Indonesia tidak membutuhkan feminisme.”
Sebuah
pernyataan dalam akun Indonesia Tanpa Feminis menyebutkan bahwa wanita tak
membutuhkan feminisme, karena dalam agama Islam, telah ditetapkan aturan sesuai
porsinya baik bagi wanita ataupun bagi laki-laki. Para penggagasnya berusaha
untuk menyuarakan Salah satu pemikiran para penggagasnya disuarakan di salah
satu post di Instagram, yang mengatakan:
“Mereka bilang, mereka
setuju dengan konsep feminisme karena wanita butuh kesetaraan… Padahal dalam
Islam, wanita tak perlu setara karena sejatinya wanita sungguh dimuliakan… Ia
dijaga oleh ayahnya , dijaga oleh saudara laki-lakinya dan dijaga oleh suaminya.
“Jika hatimu penuh
cahaya, pasti mudah bagimu menerima sebuah kebenaran, coba berbisik ke hatimu,
apakah yang kau cari selama ini adalah kebenaran? Atau hanya pembenaran?
#indonesiatanpafeminis #uninstallfeminism”
Anti-feminisme
sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelum akun Instagram Indonesia
Tanpa Feminis muncul, sebagian masyarakat Indonesia pernah menyatakan bahwa
Indonesia tak butuh feminisme (walaupun tak semerta-merta mereka yang berpikir
bahwa gerakan feminisme tak dibutuhkan di Indonesia bisa dilabeli sebagai
anti-feminis).
Seorang wanita
Indonesia menjawab pertanyaan di situs tanya-jawab Quora.com, untuk
pertanyaan “Does Indonesia need feminism?” Dia menjelaskan:
“Kebanyakan wanita
senang dengan peran mereka sebagai wanita. Menjadi seorang wanita memberi
mereka keuntungan khusus untuk dilindungi, selalu dilayani, dan dihormati oleh
pria. Belum lagi, masyarakat (Indonesia pada umumnya) berpikir bahwa laki-laki
memang seharusnya menanggung biaya hidup perempuan (dalam keluarganya).
“Bagaimana saya bisa mengatakan itu? Karena
suatu hari, 15 pria dan 15 wanita berada di sebuah ruangan. Meja dan kursi
perlu ditata ulang. Sebagai seorang wanita yang ingin membantu orang lain
terlepas dari gender mereka, dengan sepatu hak tinggi dan rok pensil saya
membantu memindahkan meja yang berat.
“Para lelaki menyuruh
saya duduk dan membiarkan mereka melakukan pekerjaan itu. Saya bersikeras.
Beberapa saat kemudian saya melihat para wanita menatap saya dengan bingung.
Menyadari kesalahan saya, saya akhirnya duduk bersama para wanita. Singkat
cerita, saya belajar bahwa wanita suka diperlakukan seperti seorang putri, dan
pria suka memamerkan kejantanan dan maskulinitas mereka. Ini adalah situasi
yang saling menguntungkan.
“Jenis feminisme yang
dibutuhkan Indonesia bukanlah jenis feminisme seperti negara lain. Wanita
dihormati di sini.
“Di Indonesia, wanita
dapat menikmati posisi tinggi dalam pekerjaan mereka. Perempuan bisa menjadi
polisi, dan bahkan bergabung dengan dinas militer. Adik (perempuan) saya adalah
seorang insinyur dan dia benar-benar seorang ‘bos’ di lokasi konstruksi,
memberikan perintah kepada krunya yang jelas didominasi oleh laki-laki.
“Belum lagi, Indonesia
memiliki presiden perempuan pertama, Megawati Sukarnoputri pada tahun 2001.
Jika itu tidak cukup, pada awal 2000-an Indonesia juga punya tokoh
trans-gender, Dorce Gamalama, sebagai bintang televisi yang terkenal dan
memiliki acara televisinya sendiri.”
Dalam jawabannya
tersebut, dia juga menjelaskan walaupun Indonesia tak butuh gerakan feminis,
namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para lelaki, terkait
perilaku dan harapan mereka akan kaum perempuan.
“Wahai pria, beberapa
wanita suka mandiri dan melakukan semuanya sendiri. Mereka adalah wanita
mandiri yang kuat yang tahu yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain
di sekitarnya. Hormati tindakannya yang mandiri, percaya padanya, dan berikan dukungan
untuknya. Wanita tidak lemah,” tulisnya.
“Pria, berikan solusi
untuk wanita Anda. Jika Anda melarangnya keluar di malam hari karena Anda
menganggapnya tidak aman, maka dampingilah dia. Jangan membuat aturan konyol
tanpa memberikan alasan dan solusi yang baik.”
Sementara
gerakan anti-feminisme kerap dikaitkan dengan agama, beberapa tokoh agama
justru menyayangkan fokus yang salah dari gerakan feminisme itu sendiri.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilizations (INSISTS) Dr. Henri Shalahuddin, kesalahan aktivis feminis di
Indonesia terletak pada fokus gerakan mereka.
Menurut
Henri, alih-alih menyuarakan kepentingan perempuan terkait dengan kodratnya,
aktivis feminis di Indonesia lebih fokus memperjuangkan kebutuhan mendasar
perempuan. Padahal, menurut dia, tanpa disuarakan pun kodrat perempuan memang
seharusnya dimuliakan. Lantas apakah Indonesia memang mebutuhkan feminism atau
tidak? Saya rasa tidak karena jika berbicara masalah ekploitasi dan sebagainya,
perempuanlah yang memegang kunci semua hal tersebut, bukanlah sebuah gerakan.
Penulis: Rino Ade
Mengas (17.01.051.078)
Refrensi:
Dikutip oleh Nursyahbani
Katjasungkana, “Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia” dalam Smita
Notosusanto dan E. Kristi Poerwandari (penyunt.), Perempuan dan
Pemberdayaan (Jakarta: Obor, 1997)
Lih. Willy Gaut, “Feminisasi
Perdagangan Manusia. Masalah Perdagangan Manusia dalam Konteks Kekerasan
terhadap Perempuan”, Jurnal Ledalero, Vol. 13, No. 1 (Juni, 2014),
65.
Lih. Pelapor Khusus Komnas Perempuan
untuk Poso, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan
Penanganan. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, hlm. 21-29.
http://arbarinis3ip.staff.fkip.uns.ac.id/2011/12/16/eksploitasi-tubuh-perempuan-dalam-tayangan-televisi/
No comments:
Post a Comment