Tuesday, May 14, 2019

Indonesia Tanpa Feminis (Katanya)

(Foto: Instagram/@indonesiatanpafeminis)
Feminisme merupakan sebuah gerakan yang dimulai di Indonesia oleh R.A Kartini pada abat ke-18, hal ini dimulai karena pemikiran Kartini waktu itu dipengaruhi oleh kolonialisme yang ikut ambil bagian dalam sistem feodalisme terhadap kaum miskin. Menurut Kartini, karakter masyarakat Jawa yang patriarkat membuat perempuan Indonesia menjadi terhambat perkembangan dan kemajuannya. Pemikiran feminisme sangat erat kaitannya dengan emansipasi. Motivasi utama dari feminisme adalah untuk mengakhiri eksploitasi yang banyak dialami oleh wanita.

            Mengakhiri Ekploitasi dengan gerakan feminism, namun sebenamya siapa yang menguasai tubuh perempuan? Gayle Rubin (1998:147) salah satu feminis libertarian-radikal menganggap bahwa sistem gender menjadi sebuah kesatuan yang mengatur perubahan transformasi sosial dan seksualitas biologis menjadi produk aktivitas manusia. Perbincangan mengenai eksistensi tubuh, tanda dan hasrat perempuan tidak dapat dilepaskan dan pengaruh gerakan pembebasan tubuh , tanda, dan hasrat.
            Menurut Foucault (dalam Yasraf, 2000:114) bahwa berbagai potensi hasrat yang ada pada diri manusia termasuk perempuan mempunyai peluang sebagai bentuk baru kekuasaan di dalam masyarakat. Menurutnya, posisi tubuh di dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dan pembicaraan mengenai hubungan antara hasrat, tubuh dan kekuasaan. Terdapat dua kekuasaan yang berkaitan dengan tubuh, pertama kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak tanduk tubuh secara represif. Kedua, kekuasaan yang memancar dan dalam tubuh itu sendiri. yaitu berupa hasrat-hasrat. Revolusi tubuh adalah sebuah kondisi, di mana dan dalam tubuh ini menentang kekuasaan atas tubuh. Dengan terbebasnya tubuh dan kekuasaan atas tubuh maka apa yang dijanjikannya adalah berkembang biak dan berlipat gandanya secara bebas discource seksual dan penggunaan tubuh tanpa perlu diikat oleh konvensi moral yang baku.
            Di dalam sistem ekonomi libido, eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh ke dalam berbagai bentuk komoditi bukanlah dianggap sebagai suatu ketidakadilan terhadap perempuan. Moralitas ekonomi libido adalah bahwa arus libido itu baik, bahwa penyebaran pengaruhnya menyenangkan. Sebuah betis yang terbuka, sebuah payudara yang tersingkap, dianggap bukan sebuah bentuk marginalisasi atau subordinasi. Ia adalah sebuah sistem negosiasi. Tawaran seperti ini adalah pintu pembuka bagi menggeliatnya tali libido di dalam wacana kapitalisme, sebuah pintu pembuka yang selama ini ditolak oleh para politisi dan birokrasi (Yasraf, 2000:116).
Tubuh posmodern, dalam pandangan Lyotard (1997:25) adalah sebatang tubuh yang sepenuhnya afirmatif, bagian-bagian tubuh yang menghasilkan kekuatan libido, yang dengan bangga dikonsumsi joussance. Setiap orang dapat mewujudkan fantasinya lewat tubuh yang kemudian dapat menjadi alat tukar libido. pengumbaran fantasi-fantasi libido tersebut akan berguna selama ia dapat ditukarkan dengan uang.
            Di dalam kapitalisme, tubuh perempuan dipertukarkan sebagai nilai tukar lewat bahasa tanda tubuh. Penelitian yang dilakukan Lyotard (1997) menemukan bahwa Citra tubuh yang menyertai penawaran sebuah komoditi merupakan satu komponen dan sistem komunikasi kapitalisme. Tubuh perempuan, lewat posisinya sebagai metakomoditi sangat bergantung pada manipulasi libidonya yang merupakan strategi baku di dalam penciptaan semua objek dan pertukarannya. Dalam ekonomi libido, kemampuan meningkatkan daya emosi dan sebatang tubuh perempuan sebagai alat tukar, secara Iangsung akan menentukan harga libidonya.
            Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi tubuh perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi dengan berbagai cara dalam sebuah ajang permainan tanda dan semiotisasi tubuh. Dalam penayangan iklan misalnya, tubuh perempuan dieksploitasi untuk produk tertentu. Iklan mobil secara kategorial dianggap sebagai barang laki-laki, menampilkan perempuan bergaun malam dengan belahan yang tinggi sehingga kelihatan betisnya. Banyak kreator iklan yang menambahkan nilai lain yakni konotasi tertentu agar bisa diasosiasikan macam-macam, dan kalau perlu dibuat menjurus agar mudah dihafalkan dan tertanam dibenak konsumen. Sebagai contoh ikian permen dengan kalimat kunci “dingin-dingin empuk“.
         Visualisasinya seorang perempuan kehujanan, kemudian makan permen dan dipeluk laki-laki di mana laki-laki tersebut merasakan hangatnya payudara perempuan sambil mengucapkan kalimat kunci tersebut. Ada unsur pelecehan perempuan dalam contoh kedua iklan tersebut, bukankah permen adalah konsumsi bagi semua jenis kelamin dalam semua tingkat usia? Kenapa harus ada citra jantan dan kenapa pula harus ada konotasi “menjurus” bahkan terjadi eksploitasi seksual pada perempuan?
            Pada tayangan hiburan musik, khususnya musik dangdut-eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan sengaja ditonjolkan dengan gerakan dan tanda-tanda semiotika tubuh yang mengarah pada dorongan sensualitas, erotika, dengan memperlihatkan menonjolnya penggunaan perempuan sebagai objek dan hasrat. Dalam musik dangdut pada khususnya, gerakan-gerakan pinggul atau dada sering dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai simulasi dan gerakan-gerakan seksual. Bila kita sadari, hampir setiap malam dan hampir seluruh stasiun televisi menayangkan musik (khususnya musik dangdut) dengan gaya penampilan menggunakan tubuh perempuan untuk dieksploitasi secara vulgar, sehingga pinggul dan dada menjadi semacam objek fetish utama.
            Dalam tayangan hiburan lawak, artis bintang tamu di dalam acara lawakan cenderung dijadikan objek seksual laki-laki di dalam lawakan atau objek voyeurisme dieksploitasi potensi hasrat dan libidonya, serta dimuati dengan berbagai mistifikasi tanda dan makna sebagai objek pemujaan laki-laki. dalam hal ini acara lawak lebih banyak mengkonstruksi laki-laki sebagai yang aktif dalam wacana seksual sementara perempuan sebagai yang pasif.
Dalam tayangan sinetronpun, eksploitasi tubuh perempuan nampak menonjol dan beberapa cerita yang dibuat. Jika dilihat pada sinetron komedi misalnya, eksploitasi tubuh perempuan ditayangkan dengan cara para perempuan berpakaian mini untuk diperlihatkan paha mulusnya yang kadang-kadang antara isi cerita dengan pakaian yang dikenakan perempuan tidak sesuai. Akibatnya, dalam sinetron penggunaan tubuh perempuan sebagai ilustrasi tampak sangat menonjol, sehingga para artis tersebut sering digunakan sebagai eye-catcher tontonan.
            Eksploitasi tubuh perempuan dalam berbagai hiburan di televisi, secara umum menunjukkan beroperasinya ideologi patriarki di dalamnya, yang menempatkan perempuan pada posisi subordinasi, posisi pelengkap, posisi objek hasrat dan dunia laki-laki yang dominan. media hiburan lawak dan musik di televisi, menjadi sebuah kendaraan dalam menciptakan common sense di dalam masyarakat yang melanggengkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Meskipun demikian, akhir-akhir ini terdapat berbagai perubahan tampilan media yang menandakan terjadinya pergeseran posisi perempuan di dalam relasi gender di dalamnya.
Pergeseran ini terjadi sebagai akibat didekonstruksinya batas-batas oposisi biner, yang sebelumnya memisahkan dunia perempuan dan laki-laki pasif/aktif, lemah/kuat, tak berdaya/kuasa, dan sebagainya. Meski berbagai perubahan merupakan sebuah harapan yang dijanjikan oleh media televisi terhadap perempuan, sesungguhnya mengandung perangkap di dalamnya, yang hanya membawa pada berbagai perubahan yang semu, bukan perubahan yang hakiki.
            Lantas dengan segala bentuk ekploitasi yang  terjadi setelah gerakan feminism di Indonesia hadir, apakah Indonesia memang masih membutuhkan yang namanya feminism? Bahkan sekarang telah muncul Kelompok anti-feminis, Indonesia Tanpa Feminis, meluncurkan kampanye media sosial di tengah perdebatan sengit tentang undang-undang kekerasan seksual yang diajukan, yang memicu perdebatan antara kaum feminis dan beberapa kelompok Islam. Seperti diberitakan The Jakarta Post, kelompok tersebut meyakini prinsip “Tubuhku bukan milikku; Indonesia tidak membutuhkan feminisme.”
Sebuah pernyataan dalam akun Indonesia Tanpa Feminis menyebutkan bahwa wanita tak membutuhkan feminisme, karena dalam agama Islam, telah ditetapkan aturan sesuai porsinya baik bagi wanita ataupun bagi laki-laki. Para penggagasnya berusaha untuk menyuarakan Salah satu pemikiran para penggagasnya disuarakan di salah satu post di Instagram, yang mengatakan:
“Mereka bilang, mereka setuju dengan konsep feminisme karena wanita butuh kesetaraan… Padahal dalam Islam, wanita tak perlu setara karena sejatinya wanita sungguh dimuliakan… Ia dijaga oleh ayahnya , dijaga oleh saudara laki-lakinya dan dijaga oleh suaminya.
“Jika hatimu penuh cahaya, pasti mudah bagimu menerima sebuah kebenaran, coba berbisik ke hatimu, apakah yang kau cari selama ini adalah kebenaran? Atau hanya pembenaran? #indonesiatanpafeminis #uninstallfeminism”
Anti-feminisme sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelum akun Instagram Indonesia Tanpa Feminis muncul, sebagian masyarakat Indonesia pernah menyatakan bahwa Indonesia tak butuh feminisme (walaupun tak semerta-merta mereka yang berpikir bahwa gerakan feminisme tak dibutuhkan di Indonesia bisa dilabeli sebagai anti-feminis).
Seorang wanita Indonesia menjawab pertanyaan di situs tanya-jawab Quora.com, untuk pertanyaan “Does Indonesia need feminism?” Dia menjelaskan:
“Kebanyakan wanita senang dengan peran mereka sebagai wanita. Menjadi seorang wanita memberi mereka keuntungan khusus untuk dilindungi, selalu dilayani, dan dihormati oleh pria. Belum lagi, masyarakat (Indonesia pada umumnya) berpikir bahwa laki-laki memang seharusnya menanggung biaya hidup perempuan (dalam keluarganya).
 “Bagaimana saya bisa mengatakan itu? Karena suatu hari, 15 pria dan 15 wanita berada di sebuah ruangan. Meja dan kursi perlu ditata ulang. Sebagai seorang wanita yang ingin membantu orang lain terlepas dari gender mereka, dengan sepatu hak tinggi dan rok pensil saya membantu memindahkan meja yang berat.
“Para lelaki menyuruh saya duduk dan membiarkan mereka melakukan pekerjaan itu. Saya bersikeras. Beberapa saat kemudian saya melihat para wanita menatap saya dengan bingung. Menyadari kesalahan saya, saya akhirnya duduk bersama para wanita. Singkat cerita, saya belajar bahwa wanita suka diperlakukan seperti seorang putri, dan pria suka memamerkan kejantanan dan maskulinitas mereka. Ini adalah situasi yang saling menguntungkan.
“Jenis feminisme yang dibutuhkan Indonesia bukanlah jenis feminisme seperti negara lain. Wanita dihormati di sini.
“Di Indonesia, wanita dapat menikmati posisi tinggi dalam pekerjaan mereka. Perempuan bisa menjadi polisi, dan bahkan bergabung dengan dinas militer. Adik (perempuan) saya adalah seorang insinyur dan dia benar-benar seorang ‘bos’ di lokasi konstruksi, memberikan perintah kepada krunya yang jelas didominasi oleh laki-laki.
“Belum lagi, Indonesia memiliki presiden perempuan pertama, Megawati Sukarnoputri pada tahun 2001. Jika itu tidak cukup, pada awal 2000-an Indonesia juga punya tokoh trans-gender, Dorce Gamalama, sebagai bintang televisi yang terkenal dan memiliki acara televisinya sendiri.”
Dalam jawabannya tersebut, dia juga menjelaskan walaupun Indonesia tak butuh gerakan feminis, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para lelaki, terkait perilaku dan harapan mereka akan kaum perempuan.
“Wahai pria, beberapa wanita suka mandiri dan melakukan semuanya sendiri. Mereka adalah wanita mandiri yang kuat yang tahu yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Hormati tindakannya yang mandiri, percaya padanya, dan berikan dukungan untuknya. Wanita tidak lemah,” tulisnya.
“Pria, berikan solusi untuk wanita Anda. Jika Anda melarangnya keluar di malam hari karena Anda menganggapnya tidak aman, maka dampingilah dia. Jangan membuat aturan konyol tanpa memberikan alasan dan solusi yang baik.”
Sementara gerakan anti-feminisme kerap dikaitkan dengan agama, beberapa tokoh agama justru menyayangkan fokus yang salah dari gerakan feminisme itu sendiri. Menurut Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr. Henri Shalahuddin, kesalahan aktivis feminis di Indonesia terletak pada fokus gerakan mereka.
Menurut Henri, alih-alih menyuarakan kepentingan perempuan terkait dengan kodratnya, aktivis feminis di Indonesia lebih fokus memperjuangkan kebutuhan mendasar perempuan. Padahal, menurut dia, tanpa disuarakan pun kodrat perempuan memang seharusnya dimuliakan. Lantas apakah Indonesia memang mebutuhkan feminism atau tidak? Saya rasa tidak karena jika berbicara masalah ekploitasi dan sebagainya, perempuanlah yang memegang kunci semua hal tersebut, bukanlah sebuah gerakan.

Penulis: Rino Ade Mengas (17.01.051.078)

Refrensi:
Dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, “Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia” dalam Smita Notosusanto dan E. Kristi Poerwandari (penyunt.), Perempuan dan Pemberdayaan (Jakarta: Obor, 1997)
            Lih. Willy Gaut, “Feminisasi Perdagangan Manusia. Masalah Perdagangan Manusia dalam Konteks Kekerasan terhadap Perempuan”, Jurnal Ledalero, Vol. 13, No. 1 (Juni, 2014), 65.
            Lih. Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, hlm. 21-29.
http://arbarinis3ip.staff.fkip.uns.ac.id/2011/12/16/eksploitasi-tubuh-perempuan-dalam-tayangan-televisi/


No comments:

Post a Comment