(ilustrasi oleh AL)
Isu kesetaraan gender
menjadi topik menarik sekaligus penting untuk didiskusikan, terlebih perempuan
menjadi objek perbincangan utama dan paling sering dikaji. Dewasa ini, telah
banyak studi yang mengemukakan bagaimana media menjadi aktor yang melahirkan
gagasan tentang pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
Bentuk-bentuk diskriminasi yang kerap diproyeksikan pun beragam oleh media
massa yang menimbulkan stereotipe tertentu di kepala masyarakat dan di-iya-kan.
Padahal, stereotipe berpotensi untuk mereduksi, mengesensialkan, menaturalkan,
dan mengekalkan “perbedaan”.[1]
Ini artinya, perempuan mendapatkan posisi sebagai kaum yang lemah dan wajar
atas proyeksi yang disajikan media dalam bentuk iklan, film, tayangan layanan
masyarakat, dll.
Mengadopsi paragdigma
pasca-strukturalis yang memandang representasi sebagai konstruksi kultural,
yakni bahwa media adalah struktur paling berperan dalam mereproduksi cara
masyarakat menempatkan dan memandang perempuan (Thaniago dan Arief, 2014)[2]
Perempuan menjadi sasaran paling empuk untuk dijadikan objek, korban, dan
pemeran utama untuk ditayangkan dalam bentuk program televisi yang disaksikan
masyarakat. Kemudian hasil penayangan ini nantinya membekas dibenak dan buah
pikir masyarakat selanjutnya opini masyarakat ini berkembang menjadi pengukuhan
atas sebuah stereotipe yang diperuntukkan untuk wanita. Gagasan-gagasan seperti
perempuan adalah makhluk emosional, lemah, harus dilindungi, dan dipisahkan
dari kaum laki-laki adalah gagasan yang diluncurkan media melalui program
tayangan sinetron, iklan, dan film layar lebar.
Dari gagasan yang
dikonsumsi masyarakat ini lahirlah diskriminasi untuk kaum perempuan, dengan
adanya batasan, parameter ideal, dan bentuk moral yang seharusnya. Sehingga
apabila perempuan tampil berbeda dan menentang stereotipe yang berlaku
dimasyarakat yang terjadi adalah perempuan akan mendapatkan diskriminasi dan
dikucilkan karena dianggap tidak sesuai dengan harapan sosial kultural.
Gagasan dan isu gender
khususnya perempuan dan seksualitas menjadi bumbu andalan bagi kapitalis media.
Tujuannya yakni agar tayangan-tayangan tersebut mendapat tempat di benak
khalayak. Padahal seharusnya media membantu perempuan untuk membuka wawasan dan
merubah imej tentang perempuan. Setidaknya berimbang dalam memproyeksikan sosok
perempuan dan laki-laki dengan tidak bias gender.
Kenapa
Serendipity 2018 begitu Maskulin, untuk Pemeran Utama yang Feminim
Penulis tertarik pada
sebuah film Indonesia yang tayang pada 9 Agustus 2018 disutradarai oeh Indra
Gunawan. Pemeran utama wanita yaitu Mawar Eva sebagai Rani, Kenny Austin
sebagai Arkan (kekasih Rani), dan Maxime Bouttier (Gibran). Film roman
berdurasi 1 jam 47 menit ini, cukup mengganjal dipikiran penulis. Sebabnya
realita yang disajikan dengan judul Serendipity[3]
yang artinya ‘kebetulan yang menyenangkan’ tak se-menyenangkan dipikiran
penulis. Film ini malah mampu menguatkan stereotipe perempuan yang telah
berkembang. Penayangan sosok Rani sebagai perempuan lemah yang memilih bungkam
sangat jelas diperagakannya.
Awalnya kesan penulis
melihat penyangan trailer Serendipity akan sekelas dengan film Lovely Man[4]
yang mengangkat isu prostitusi waria, sebaliknya potongan film dalam trailer
bahkan tidak mampu mewakili rasa ingintahu akan dunia lady escort[5]walaupun
profesi yang ditempuh Rani beda tipis dengan Surgar baby dan Sugar Dady[6].
Profesi lady escort hanya sebagai
pemanis dalam film ini, sekaligus sebagai gambaran kondisi miris pelaku utama
yang harus menempuh profesi tersebut demi menyelesaikan permasalahan
keluarganya.
Sutradara menjadikan
isu lady escort yang rawan prostitusi
begitu enteng disajikan, tidak berusaha
mengangkatnya lebih serius karena ini adalah isu penting untuk dibahas karena
tidak banyak film-film Indonesia mengikutsertakan profesi lady escort sebagai bumbu film.
Lalu mengapa kemudian
penulis menyebut film ini begitu maskulin? Karena meskipun Sutradara
menempatkan perempuan sebagai pemeran utama yang dikisahkan kehidupannya,
penulis berpandangan bahwa Rani hanya sebagai sosok perempuan korban laki-laki.
Penulis suka menyebutnya “dari Patriarki, oleh Patriarki, untuk Patriarki” alur
cerita yang dibawakan Rani tidak sepenuhnya milik ia. Pemeran utama condong
seperti korban, jika kita sebagai penonton mengamati yang menyebabkan
permasalahan Rani adalah Ayahnya yang terbelit hutang, Ibunya yang selingkuh
dengan suami atau Ayah dari pacarnya (Arkan), Solusi sepanjang permasalahannya
hanya diberikan oleh kaum laki-laki seperti Om-om penjudi yang memberikannya
pekerjaan, Gibran yang berinisiatif melunasi semua hutang Ayah Rani dengan
caranya, dan Arkan yang menyebabkan Rani dipermalukan seluruh teman kelasnya
akibat fotonya bersama om-om tersebar luas.
Penggambaran yang salah
terhadap perempuan atau tidak utuh akan menjadi manifestasi cara pandang
masyarakat atas perempuan. Yang terjadi, situasi ketidakadilan terhadap
perempuan yang sudah dilakukan oleh struktur sosial, budaya, agama, dan politik
akan mendapatkan dukungan oleh media dengan motif komersialnya. Lippman dalam
Sunarto (2010:237)[7],
menyebutkan bahwa stereotipe secara kultural menentukan gambaran yang
mendistorsi bagian kognitif individu dan persepsinya tetang dunia atas
realitas. Oleh karena itu apa yang media tampilkan dan bangun mengenai
stereotipe tertentu memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Masyarakat
sebagai penonton cenderung membenarkan apa yang disajikan media.
Kenapa pemeran utama
tidak mampu sebagai penyelesai masalah? Justru menjadi beban bagi pemeran
laki-laki yang lain. Perempuan diproyeksikan sebagai kaum yang tidak mampu
memecahkan permasalahan dengan benar, bahkan memilih solusi yang terbak saja
tidak mampu, bahkan film ini menampilkan bahwa perempuan selalu memilih solusi
yang salah yakni ketika Rani memustuskan untuk menjadi lady escort sebagai solusi atas masalah hutang ayahnya. Film ini,
penulis nilai tidak mampu menyajikan sisi emosional dan sisi pemeran utama dalam
hal pengambilan keputusan. Ketika Gibran menyuruh Rani untuk berhenti dari
profesinya, Rani malah marah karena menurutnya tidak ada profesi lain yang bisa
membantunya dari jerat hutang.
Penulis menyimpulkan,
bahwa yang hendak disajikan pembuat film adalah meskipun perempuan diposisikan
sebagai pemeran utama tetap saja perempuan dengan karakter alaminya yang lemah,
emosional, dan berkegantungan yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan
sepandai laki-laki. Perempuan dianggap tetap bergantung pada laki-laki meskipun
sang perempuan diberikan peranutama.
Kenapa
Perempuan Kerap Membungkam Kebenaran
Kaum Perempuan sebagai
makhluk yang masih minim didengar aspirasinya, kerap memilih sebagai kelompok
yang dibungkam atau hanya menurut kelompok dominan seperti laki-laki. Jika kita
amati film-film banyak menyajikan pemeran perempuan yang memilih bungkam dan
menangis ketiak dihadapi dengan pilihan tertentu, dan memilih bungkam pada
kebenaran. Ini adalah stereotipe yang salah selalu disajikan film-film kita
dewasa ini, seolah Serendipity tidak menghasilkan apa-apa untuk kesetaraan
gender. Film Serendipity justru semakin membuat stereotipe menguat. Dapat
dibuktikan ketika Rani dihakimi pacarnya atas profesinya sebagai lady escort, dengan sedikit kekerasan
fisik yang diterimanya Rani malah menampilkan sosok perempuan yang tidak mampu
membela dirinya sendiri, tidak mampu bersuara atas kebenaran yang terjadi,
dirinya justru menerima perlakuan kasar laki-laki karena ia menganggap dalam
hal ini adalah kesalahan Rani memilih menjadi lady escort.
The
muted group theory atau Teori kelompok yang dibungkam
karya seorang antropolog sosial yaitu Edwin Ardener dan Shirley Ardener.
Kelompok yang dibungkam adalah kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah
seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna dimana kelompok ini harus
tunduk terhadap sistem yang diciptakan oleh kelompok dominan atau memegang
kekuasaan. Lahirnya kelompok bungkam ini disebabkan tekanan dan tindasan
terhadap kelompok berbentuk ras, gender, pekerjaan dll dalam menyampaikan
gagasan, aspirasi, dan ide-ide kelompok ini merasa kecil diantara kelompok yang
dominan.
Ketika pemeran utama,
membungkam penjelasannya karena khawatir tidak diterima dan berpikir lingkungan
sudah terlanjur salah paham atas dirinya. Seperti dialog Rani didepan kelas
yang menghakiminya atas profesinya sebagai lady
escort tersebar. “gue bukan pelacur,
gue gak seperti yang kalian pikirkan. Tapi gue yakin kalian lebih percaya video
itu daripada penjelasan gue” pesimistis karena dirinya merasa kecil dan
dipersalahkan oleh kaum dominan menjadikannya enggan untuk mengkoreksi
kesalahan isu beredar, padahal penyelesaiannya mudah saja Gibran membantunya
dengan membuat video banding penjelasan Rani. Tapi seolah-olah ide pemecahan
masalah itu hanya keluar dari kepala laki-laki, dan perempuan tidak mampu berdiri
sendiri tanpa laki-laki.
Penulis menyayangkan
sikap dan pilihan yang diambil para pembuat film Serendipity. Adegan film yang
menayangkan stick note berisikan
kalimat bully, kalimat pelecehan
seksual yang diperuntukkan untuk Rani. Adalah bukti bahwa perempuan selalu
menjadi korban dan objek.
Menyimpulkan
Dalam ulasan ini
penulis menarasikan opini bahwa media mendukung ideologi dominan yang cenderung
diskriminatif terhadap perempuan. Secara sadar atau tidak media telah keliru
dalam mempresentasikan perempuan, hal ini akan berdampak pada realitas sosial
karena cara pandang media kerap digunakan sebagai cara pandang sosial. Mengutip
Barker, “Kesamaan bukan landasan bagi kesetaraan, namun perbedaan adalah
kondisi yang terjadi pada semua identitas dan merupakan makna sebenarnya dari
kesetaraan”.[8]
Dengan demikian upaya kesetaraan gender bukan menyamakan kedua jenis gender
yang mengabaikan faktor alamiah seperti biologis (misalnya) melainkan upaya
membangun kehidupan manusia yang berkeadilan.
Film Serendipity memang
tidak bisa dijadikan acuan bahwa media massa Indonesia masih tertinggal jauh
dalam hal keadilan gender. Ketika film besutan luar negeri sudah mampu
mendongkrak ideologi dominan/ stereotipe keliru terhadap perempuan. Animasi Mulan, Frozen mampu memproyeksikan sisi lain perempuan yang sangat
berbeda dari opini yang dianut sosial. Atau menilik film Avengers Endgame yang
menyajikan captain marvel adalah seorang perempuan, kekuatan seorang perempuan.
Bahwa dalam hal apapun perempuan dan laki-laki sama-sama manusia yang memiliki
kesempatan sama, tempat yang sama, tidak dibeda-bedakan atas diskriminasi
stereotipe gender. Menoleh film lama seperti killbill, film yang anggotanya
seorang perempuan digambarkan kuat, pandai, lincah, dan mampu mengalahkan
laki-laki. Pada dasarnya gagasan bahwa perempuan mampu sama dengan laki-laki
dihadapan umum adalah mungkin. Yang melemahkan perempuan adalah stereotipe
sosial yang membatasi ruang gerak dan berpikir kaum perempuan. Media massa
harus beperan lebih berkeadilan dalam memproyeksikan kedua jenis gender untuk
mengedukasi penonton. Bukan semata merauk
keuntungan yang memperkaya kaum kapitalis media.
(ditulis oleh: Ajeng Lestari - 1701051008)
[1] Stuart
Hall, “The Spectacle of the other” dalam Stuart Hall (ed.), Representations (London and Thousands
Oaks, CA: Sage, 1997), hal, 528.
[2] Roy Thaniago, Yovantra Arief. (2014). Perempuan Tanpa Otonomi. Jakarta:
Remotivi
[3]
Serendipity, 2018. 1 jam 47 menit. Filmindonesia.or.id
[4] Lovely
Man, 2011. 1 jam 16 menit.
[5]
Lady Escort adalah profesi yang
berada di klub-klub malam, pekerjaan ini biasanya menemani laki-laki/pengunjung
klub malam untuk menemani minum, bermain judi, dan hiburan di klub malam.
[6]Sugar baby dan Sugar dady adalah sepaket layanan terselubung prostitusi online, dimana kedua pelaku ini akan
mencari dan menemukan pasangan yang pas. Sistem ini seperti adopsi anak, dimana
sugar dady akan memberikan keperluan
dan pembiayaan kuliah sugarbaby namun
dengan kesepakatan sugarbaby akan
menemani sugar dady untuk makan,
jalan-jalan, kegiatan luar kota, pekerjaan, sampai hiburan sejenis chatiing-an.
Namun, awal pengadaan jejaring onlinesugar
dady menekankan tidak adanya kontak fisik berlebih seperti berhubungan
intim.
[7]Sunarto.
(2009). Televisi, Kekerasan, dan
Perempuan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
[8] Chris
Barker, Cultural Studies: Teori dan
Praktik (eds. Terjemahan) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hal. 249.
No comments:
Post a Comment