Monday, May 13, 2019

Pengekangan Stereotipe Gender oleh Media Massa (Studi pada film Serendipity 2018)

(ilustrasi oleh AL)

Media Massa Mengukuhkan Stereotip

Isu kesetaraan gender menjadi topik menarik sekaligus penting untuk didiskusikan, terlebih perempuan menjadi objek perbincangan utama dan paling sering dikaji. Dewasa ini, telah banyak studi yang mengemukakan bagaimana media menjadi aktor yang melahirkan gagasan tentang pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Bentuk-bentuk diskriminasi yang kerap diproyeksikan pun beragam oleh media massa yang menimbulkan stereotipe tertentu di kepala masyarakat dan di-iya-kan. Padahal, stereotipe berpotensi untuk mereduksi, mengesensialkan, menaturalkan, dan mengekalkan “perbedaan”.[1] Ini artinya, perempuan mendapatkan posisi sebagai kaum yang lemah dan wajar atas proyeksi yang disajikan media dalam bentuk iklan, film, tayangan layanan masyarakat, dll.

Mengadopsi paragdigma pasca-strukturalis yang memandang representasi sebagai konstruksi kultural, yakni bahwa media adalah struktur paling berperan dalam mereproduksi cara masyarakat menempatkan dan memandang perempuan (Thaniago dan Arief, 2014)[2] Perempuan menjadi sasaran paling empuk untuk dijadikan objek, korban, dan pemeran utama untuk ditayangkan dalam bentuk program televisi yang disaksikan masyarakat. Kemudian hasil penayangan ini nantinya membekas dibenak dan buah pikir masyarakat selanjutnya opini masyarakat ini berkembang menjadi pengukuhan atas sebuah stereotipe yang diperuntukkan untuk wanita. Gagasan-gagasan seperti perempuan adalah makhluk emosional, lemah, harus dilindungi, dan dipisahkan dari kaum laki-laki adalah gagasan yang diluncurkan media melalui program tayangan sinetron, iklan, dan film layar lebar.

Dari gagasan yang dikonsumsi masyarakat ini lahirlah diskriminasi untuk kaum perempuan, dengan adanya batasan, parameter ideal, dan bentuk moral yang seharusnya. Sehingga apabila perempuan tampil berbeda dan menentang stereotipe yang berlaku dimasyarakat yang terjadi adalah perempuan akan mendapatkan diskriminasi dan dikucilkan karena dianggap tidak sesuai dengan harapan sosial kultural.

Gagasan dan isu gender khususnya perempuan dan seksualitas menjadi bumbu andalan bagi kapitalis media. Tujuannya yakni agar tayangan-tayangan tersebut mendapat tempat di benak khalayak. Padahal seharusnya media membantu perempuan untuk membuka wawasan dan merubah imej tentang perempuan. Setidaknya berimbang dalam memproyeksikan sosok perempuan dan laki-laki dengan tidak bias gender.

Kenapa Serendipity 2018 begitu Maskulin, untuk Pemeran Utama yang Feminim

Penulis tertarik pada sebuah film Indonesia yang tayang pada 9 Agustus 2018 disutradarai oeh Indra Gunawan. Pemeran utama wanita yaitu Mawar Eva sebagai Rani, Kenny Austin sebagai Arkan (kekasih Rani), dan Maxime Bouttier (Gibran). Film roman berdurasi 1 jam 47 menit ini, cukup mengganjal dipikiran penulis. Sebabnya realita yang disajikan dengan judul Serendipity[3] yang artinya ‘kebetulan yang menyenangkan’ tak se-menyenangkan dipikiran penulis. Film ini malah mampu menguatkan stereotipe perempuan yang telah berkembang. Penayangan sosok Rani sebagai perempuan lemah yang memilih bungkam sangat jelas diperagakannya.

Awalnya kesan penulis melihat penyangan trailer Serendipity akan sekelas dengan film Lovely Man[4] yang mengangkat isu prostitusi waria, sebaliknya potongan film dalam trailer bahkan tidak mampu mewakili rasa ingintahu akan dunia lady escort[5]walaupun profesi yang ditempuh Rani beda tipis dengan Surgar baby dan Sugar Dady[6]. Profesi lady escort hanya sebagai pemanis dalam film ini, sekaligus sebagai gambaran kondisi miris pelaku utama yang harus menempuh profesi tersebut demi menyelesaikan permasalahan keluarganya.

Sutradara menjadikan isu lady escort yang rawan prostitusi begitu enteng disajikan, tidak berusaha mengangkatnya lebih serius karena ini adalah isu penting untuk dibahas karena tidak banyak film-film Indonesia mengikutsertakan profesi lady escort sebagai bumbu film.

Lalu mengapa kemudian penulis menyebut film ini begitu maskulin? Karena meskipun Sutradara menempatkan perempuan sebagai pemeran utama yang dikisahkan kehidupannya, penulis berpandangan bahwa Rani hanya sebagai sosok perempuan korban laki-laki. Penulis suka menyebutnya “dari Patriarki, oleh Patriarki, untuk Patriarki” alur cerita yang dibawakan Rani tidak sepenuhnya milik ia. Pemeran utama condong seperti korban, jika kita sebagai penonton mengamati yang menyebabkan permasalahan Rani adalah Ayahnya yang terbelit hutang, Ibunya yang selingkuh dengan suami atau Ayah dari pacarnya (Arkan), Solusi sepanjang permasalahannya hanya diberikan oleh kaum laki-laki seperti Om-om penjudi yang memberikannya pekerjaan, Gibran yang berinisiatif melunasi semua hutang Ayah Rani dengan caranya, dan Arkan yang menyebabkan Rani dipermalukan seluruh teman kelasnya akibat fotonya bersama om-om tersebar luas.

Penggambaran yang salah terhadap perempuan atau tidak utuh akan menjadi manifestasi cara pandang masyarakat atas perempuan. Yang terjadi, situasi ketidakadilan terhadap perempuan yang sudah dilakukan oleh struktur sosial, budaya, agama, dan politik akan mendapatkan dukungan oleh media dengan motif komersialnya. Lippman dalam Sunarto (2010:237)[7], menyebutkan bahwa stereotipe secara kultural menentukan gambaran yang mendistorsi bagian kognitif individu dan persepsinya tetang dunia atas realitas. Oleh karena itu apa yang media tampilkan dan bangun mengenai stereotipe tertentu memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Masyarakat sebagai penonton cenderung membenarkan apa yang disajikan media.

Kenapa pemeran utama tidak mampu sebagai penyelesai masalah? Justru menjadi beban bagi pemeran laki-laki yang lain. Perempuan diproyeksikan sebagai kaum yang tidak mampu memecahkan permasalahan dengan benar, bahkan memilih solusi yang terbak saja tidak mampu, bahkan film ini menampilkan bahwa perempuan selalu memilih solusi yang salah yakni ketika Rani memustuskan untuk menjadi lady escort sebagai solusi atas masalah hutang ayahnya. Film ini, penulis nilai tidak mampu menyajikan sisi emosional dan sisi pemeran utama dalam hal pengambilan keputusan. Ketika Gibran menyuruh Rani untuk berhenti dari profesinya, Rani malah marah karena menurutnya tidak ada profesi lain yang bisa membantunya dari jerat hutang.

Penulis menyimpulkan, bahwa yang hendak disajikan pembuat film adalah meskipun perempuan diposisikan sebagai pemeran utama tetap saja perempuan dengan karakter alaminya yang lemah, emosional, dan berkegantungan yang tidak mampu menyelesaikan permasalahan sepandai laki-laki. Perempuan dianggap tetap bergantung pada laki-laki meskipun sang perempuan diberikan peranutama.

Kenapa Perempuan Kerap Membungkam Kebenaran

Kaum Perempuan sebagai makhluk yang masih minim didengar aspirasinya, kerap memilih sebagai kelompok yang dibungkam atau hanya menurut kelompok dominan seperti laki-laki. Jika kita amati film-film banyak menyajikan pemeran perempuan yang memilih bungkam dan menangis ketiak dihadapi dengan pilihan tertentu, dan memilih bungkam pada kebenaran. Ini adalah stereotipe yang salah selalu disajikan film-film kita dewasa ini, seolah Serendipity tidak menghasilkan apa-apa untuk kesetaraan gender. Film Serendipity justru semakin membuat stereotipe menguat. Dapat dibuktikan ketika Rani dihakimi pacarnya atas profesinya sebagai lady escort, dengan sedikit kekerasan fisik yang diterimanya Rani malah menampilkan sosok perempuan yang tidak mampu membela dirinya sendiri, tidak mampu bersuara atas kebenaran yang terjadi, dirinya justru menerima perlakuan kasar laki-laki karena ia menganggap dalam hal ini adalah kesalahan Rani memilih menjadi lady escort.

The muted group theory atau Teori kelompok yang dibungkam karya seorang antropolog sosial yaitu Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Kelompok yang dibungkam adalah kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna dimana kelompok ini harus tunduk terhadap sistem yang diciptakan oleh kelompok dominan atau memegang kekuasaan. Lahirnya kelompok bungkam ini disebabkan tekanan dan tindasan terhadap kelompok berbentuk ras, gender, pekerjaan dll dalam menyampaikan gagasan, aspirasi, dan ide-ide kelompok ini merasa kecil diantara kelompok yang dominan.

Ketika pemeran utama, membungkam penjelasannya karena khawatir tidak diterima dan berpikir lingkungan sudah terlanjur salah paham atas dirinya. Seperti dialog Rani didepan kelas yang menghakiminya atas profesinya sebagai lady escort tersebar. “gue bukan pelacur, gue gak seperti yang kalian pikirkan. Tapi gue yakin kalian lebih percaya video itu daripada penjelasan gue” pesimistis karena dirinya merasa kecil dan dipersalahkan oleh kaum dominan menjadikannya enggan untuk mengkoreksi kesalahan isu beredar, padahal penyelesaiannya mudah saja Gibran membantunya dengan membuat video banding penjelasan Rani. Tapi seolah-olah ide pemecahan masalah itu hanya keluar dari kepala laki-laki, dan perempuan tidak mampu berdiri sendiri tanpa laki-laki.

Penulis menyayangkan sikap dan pilihan yang diambil para pembuat film Serendipity. Adegan film yang menayangkan stick note berisikan kalimat bully, kalimat pelecehan seksual yang diperuntukkan untuk Rani. Adalah bukti bahwa perempuan selalu menjadi korban dan objek.

Menyimpulkan

Dalam ulasan ini penulis menarasikan opini bahwa media mendukung ideologi dominan yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Secara sadar atau tidak media telah keliru dalam mempresentasikan perempuan, hal ini akan berdampak pada realitas sosial karena cara pandang media kerap digunakan sebagai cara pandang sosial. Mengutip Barker, “Kesamaan bukan landasan bagi kesetaraan, namun perbedaan adalah kondisi yang terjadi pada semua identitas dan merupakan makna sebenarnya dari kesetaraan”.[8] Dengan demikian upaya kesetaraan gender bukan menyamakan kedua jenis gender yang mengabaikan faktor alamiah seperti biologis (misalnya) melainkan upaya membangun kehidupan manusia yang berkeadilan.

Film Serendipity memang tidak bisa dijadikan acuan bahwa media massa Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal keadilan gender. Ketika film besutan luar negeri sudah mampu mendongkrak ideologi dominan/ stereotipe keliru terhadap perempuan. Animasi Mulan, Frozen mampu memproyeksikan sisi lain perempuan yang sangat berbeda dari opini yang dianut sosial. Atau menilik film Avengers Endgame yang menyajikan captain marvel adalah seorang perempuan, kekuatan seorang perempuan. Bahwa dalam hal apapun perempuan dan laki-laki sama-sama manusia yang memiliki kesempatan sama, tempat yang sama, tidak dibeda-bedakan atas diskriminasi stereotipe gender. Menoleh film lama seperti killbill, film yang anggotanya seorang perempuan digambarkan kuat, pandai, lincah, dan mampu mengalahkan laki-laki. Pada dasarnya gagasan bahwa perempuan mampu sama dengan laki-laki dihadapan umum adalah mungkin. Yang melemahkan perempuan adalah stereotipe sosial yang membatasi ruang gerak dan berpikir kaum perempuan. Media massa harus beperan lebih berkeadilan dalam memproyeksikan kedua jenis gender untuk mengedukasi penonton. Bukan semata merauk keuntungan yang memperkaya kaum kapitalis media.

(ditulis oleh: Ajeng Lestari - 1701051008)



[1] Stuart Hall, “The Spectacle of the other” dalam Stuart Hall (ed.), Representations (London and Thousands Oaks, CA: Sage, 1997), hal, 528.
[2]  Roy Thaniago, Yovantra Arief. (2014). Perempuan Tanpa Otonomi. Jakarta: Remotivi
[3] Serendipity, 2018. 1 jam 47 menit. Filmindonesia.or.id
[4] Lovely Man, 2011. 1 jam 16 menit.
[5] Lady Escort adalah profesi yang berada di klub-klub malam, pekerjaan ini biasanya menemani laki-laki/pengunjung klub malam untuk menemani minum, bermain judi, dan hiburan di klub malam.
[6]Sugar baby dan Sugar dady adalah sepaket layanan terselubung prostitusi online, dimana kedua pelaku ini akan mencari dan menemukan pasangan yang pas. Sistem ini seperti adopsi anak, dimana sugar dady akan memberikan keperluan dan pembiayaan kuliah sugarbaby namun dengan kesepakatan sugarbaby akan menemani sugar dady untuk makan, jalan-jalan, kegiatan luar kota, pekerjaan, sampai hiburan sejenis chatiing-an. Namun, awal pengadaan jejaring onlinesugar dady menekankan tidak adanya kontak fisik berlebih seperti berhubungan intim.
[7]Sunarto. (2009). Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
[8] Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (eds. Terjemahan) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hal. 249.

No comments:

Post a Comment