Dian Fajar Utami 17.01.051.025
Pada umumnya dalam iklan
perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestic seperti masalah dapur, sumur,
mengurus anak, belanja untuk kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Mereka
terkadang pula diposisikan sebagai subordinat laki-laki, misalnya menjadi
bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang kebutuhan
laki-laki. Sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan bermasyarakat;
banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan atau
adat masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini.
Di India ada sebuah ungkapan
membesarkan anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman
orang lain. ((Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2004, hal. 67.)) Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun
yang lalu misalnya Aristoteles menyebarkan ajarannya yang mengatakan bahwa
laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna.
Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Budiman, sulit dipercaya bahwa
perempuan punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip. Schopenhauer dalam Budiman,
mengungkapkan bahwa perempuan dalam segala hal terbelakang, tidak sanggup
berpikir dan berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan
manusia sesungguhnya dan anak-anak.
Perempuan hanya tercipta untuk
beranak. Pendapat Spock seperti dikutip oleh Budiman menyebutkan bahwa ”perempuan pada hakikatnya hanya dapat
mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang, pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia
kalau tidak agresif tidak hanya secara seksual namun juga dalam kehidupan
sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu”. Ide bahwa perempuan lebih
’lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui agama-agama besar dunia. Budiman
memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan perempuan terbuat dari tulang
rusuk laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut agama tertentu yang isinya
pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak dilahirkan sebagai
perempuan
Contoh lainnya ujarnya adalah
agama tertentu mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita
karena sifat-sifat yang diberikan Tuhan pada mereka memang demikian adanya dan
banyak lagi pendapat yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran
agama. ((Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia,
1982, hal. 6-8.)) Kalau diamati lebih jauh hampir di sebagian besar iklan yang
ditayangkan di media massa selain menempatkan perempuan dalam perannya sebagai‘orang kedua’atau disubordinasikan pada peran laki-laki,perempuan terkadang
hanya dipakai sekedar sebagai pemanis saja karena perannya sama sekali tidak
ada hubungannya dengan pesan pokok iklan.
Mereka ditampilkan dengan pakaian
seksi, mengekspos tubuhnya, membuka sedikit dadanya atau menunjukkan betisnya
yang indah, dan lain sebagainya untuk menimbulkan perhatian saja. Dalam
perkembangan selanjutnya berbagai stereotipe perempuan yang lemah dan selalu
menjadi subordinat pria dalam penampilannya di berbagai iklan mulai menunjukkan
perubahan dimana posisi perempuan terkadang ditampilkan lebih ‘berkuasa’dan perkasa’dari laki-laki. Atau mereka tidak lagi ditampilkan sebagai makhluk
yang lemah dan pasif namun kuat, gesit dan lincah. Salah satu contoh kasusnya
adalah sosok gadis cantik Dian Sastro dalam iklan produk sabun mandi yang
membuat pria-pria penggoda keteteran karena kemampuan beladirinya yang lihai.
Atau Zhang Zi Yi dalam iklan produk kartu kredit yang juga membuat pria
bertekuk lutut karena keahlian beladirinya.
Iklan cenderung menggambarkan
perempuan dalam posisi yang subordinatif. Hal ini karena adanya suatu anggapan
di masyarakat pada umumnya bahwa wanita itu pasif, kurang cerdas, emosional
sehingga menyebabkan ia terkadang bertindak irasional, maka ia tidak bisa
memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.Misalnya dalam iklan perempuan digambarkan sebagai orang kedua, yang
keberadaannya dalam struktur sosial kemasyarakatan di bawah laki-laki. Meski
terkadang ia digambarkan dalam peran- peran yang bersifat publik seperti perkantoran
dan bisnis namun jarang sekali yang diposisikan sebagai tokoh yang berperan
sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin).
Pada umumnya wanita digambarkan sebagai karyawan/bawahan, misalnya sekretaris, sementara laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin atau bos). Sering pula dalam karya iklan perempuan ditampilkan secara dominan dalam arti ia menjadi daya tarik dan perhatian pemirsa namun kalau diamati lebih jauh identitas dan peran sosialnya tidak jelas. Sehingga kesan yang nampak secara sosial terhadap keberadaannya hanyalah sebagai pelengkap dan pendukung keberadaan laki-laki. Misalnya, sebagai pendamping suami atau laki-laki, baik itu dalam gambaran kehidupan rumah tangga, dalam hubungan kerja, maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.
Dikotomi nature dan culture menunjukkan pemisahan di antara laki-laki dan perempuan, yang satu memiliki status yang lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang memiliki sifat “alam” (nature)harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture).Usaha “membudayakan” perempuan tersebut telah menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Abdullah, 2006:3).
Penempatan yang tidak seimbang menjadi kekuatan pemisahan sektor kehidupan dalam sektor “domestik” dan “publik”. Perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik dan laki-laki ditempatkan untuk mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai lembaga sosial yang kemudian menjadi fakta tentang status dan peran perempuan. Televisi dalam proses ini berperan aktif menegaskan kedudukan dan peran perempuan dengan merepresentasikan perempuan baik sebagai ibu maupun sebagaiistri yang selalu terkait dengan rumah, masakan, pakaian, kecantikan dan kelembutan.
Pada umumnya wanita digambarkan sebagai karyawan/bawahan, misalnya sekretaris, sementara laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin atau bos). Sering pula dalam karya iklan perempuan ditampilkan secara dominan dalam arti ia menjadi daya tarik dan perhatian pemirsa namun kalau diamati lebih jauh identitas dan peran sosialnya tidak jelas. Sehingga kesan yang nampak secara sosial terhadap keberadaannya hanyalah sebagai pelengkap dan pendukung keberadaan laki-laki. Misalnya, sebagai pendamping suami atau laki-laki, baik itu dalam gambaran kehidupan rumah tangga, dalam hubungan kerja, maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.
Dikotomi nature dan culture menunjukkan pemisahan di antara laki-laki dan perempuan, yang satu memiliki status yang lebih rendah dari yang lain. Perempuan yang memiliki sifat “alam” (nature)harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture).Usaha “membudayakan” perempuan tersebut telah menyebabkan terjadinya proses produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan (Abdullah, 2006:3).
Penempatan yang tidak seimbang menjadi kekuatan pemisahan sektor kehidupan dalam sektor “domestik” dan “publik”. Perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik dan laki-laki ditempatkan untuk mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai lembaga sosial yang kemudian menjadi fakta tentang status dan peran perempuan. Televisi dalam proses ini berperan aktif menegaskan kedudukan dan peran perempuan dengan merepresentasikan perempuan baik sebagai ibu maupun sebagaiistri yang selalu terkait dengan rumah, masakan, pakaian, kecantikan dan kelembutan.
Daftar Pustaka
https;//lakilakibaru.or.id/maskulinitas
–perempuan – dalam – iklan
htpps;//repositoorii.uin-alaudin.ac.id
perempuan dalam iklan
Arief Budiman, Pembagian Kerja
Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia, 1982, hal. 6-8.))
No comments:
Post a Comment