Friday, May 17, 2019

Gender Dan Feminisme


NAMA: Nicolas Jordan Alfayet
NIM    : 17.01.051.066
KELAS : FIKOM B 17

Gender merupakan satu di antara sejumlah wacana yang bisa disebut kontemporer yang cukup menyita perhatian banyak kalangan, mulai para remaja, kalangan aktivis pergerakan, akademisi dan mahasiswa, kalangan legislatif dan pemerintah, hingga para agamawan. Maksud wacana ini adalah menutup ketidakadilan sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin, selanjutnya berupaya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada aspek sosialnya. Dan sampai saat ini, wacana gender setidaknya dapat kategorikan menjadi empat penampilan, yaitu sebagai suatu gerakan, sebagai diskursus kefilsafatan, perkembangan dari isu sosial ke isu keagamaan, dan sebagai pendekatan dalam studi agama. Tulisan ini akan membahas perspektif kesetaraan gender sebagaimana dipahami oleh para feminis muslim. Secara umum dapat disebutkan bahwa tujuan perjuangan feminisme adalah mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan ketidak-adilan, terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupa-kan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban. Ketidakadilan tersebut termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan atau pengam-bilan keputusan politik, stereotip, diskriminasi dan kekerasan.
Fakta membuktikan bahwa di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Bahkan dalam melakukan perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.
Menurut Heyzer (1991), gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Sedangkan Illich (1983) berpendapat bahwa gender dimaksudkan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial, yang mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku. Di sisi lain, Lerner (1986) mendefinisikan gender sebagai suatu tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelamin pada suatu masyarakat yang dilaksanakan pada waktu tertentu.
H.T. Wilson dalam bukunya Sex and Gender menyatakan bahwa gender adalah suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang menyebabkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Ada aspek dominan pada laki-laki dan ada aspek dominan pada perempuan. Perbedaan tersebut terdiri dari aspek agresivitas, emosi, kompetisi, dan ambisinya. Laki-laki cenderung lebih agresif daripada perempuan. Perempuan cenderung emosional, sementara laki-laki cenderung rasional. Perempuan tidak suka kompetitif, sementara lakilaki cenderung kompetitif.Dalam memahami makna gender, ada juga yang melihatnya dari perspektif perbedaan fisikal antara laki-laki dan perempuan, namun ada juga yang melihatnya dari sisi budaya. Dari segi fisikal, sebagaimana diuraikan di atas memang sangat kentara perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, membedakan antara laki-laki dengan perempuan hanya dari sisi fisikal saja tentu tidak cukup sebab ada seseorang yang secara fisikal menunjukkan indikator kelaki-lakian atau keperempuanan, namun secara psikologis atau kejiwaan ternyata sebaliknya. Inilah yang dalam konsep ilmu sosial sering disebut sebagai the third sex (gender ketiga).Perbedaan antara laki-laki dan perempuan ternyata tidak sekadar fisikal belaka, tetapi juga psikologikal. Ada juga orang yang secara fisikal laki-laki, namun kejiwaannya perempuan dan begitu juga sebaliknya. Inilah yang disebut transeksual. Dari kecenderungan itu kemudian muncul istilah lesbian (perempuan yang menyukai perempuan) dan homoseksual (laki-laki yang menyukai laki-laki).Perbedaan antara laki-laki perempuan juga terkait dengan budaya. Perbedaan ini biasanya dikaitkan dengan bagaimana konstruksi budaya tentang peran, fungsi dan sumbangan laki-laki atau perempuan di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Inilah yang sering menyebabkan adanya perbedaan gender yang kurang simpatik. Di dalam dunia kerja, misalnya, muncul konsep kerja perempuan yang bercorak domestik dan kerja laki-laki yang bercorak publik. Di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya juga sering menghasilkan pandangan bahwa perempuan adalah warga negara kelas dua sehingga dalam banyak hal, perempuan tidak dilibatkan di dalam persoalan ekonomi, politik, dan budaya.
Feminisme dalam konsep islam, islam tidak membedakan laki-laki dan wanita dalam hal tingkatan takwa, dan surga juga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi untuk laki-laki dan perempuan yang bertakwa dan beramal sholih.Islam mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan anggapan para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam Islam, sesungguhnya wanita dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-qur’an ataupun hadis nabi yang memuliakan dan mengangkat derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri, ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri,Tak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah fungsionalnya.
Selain hak pendidikan dan politik, para aktivis perempuan itu juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan. Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (genderbased differentiation) dihapuskan sama sekali. Karyawan tidak boleh dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan dan pengasuhan anak. Agenda emansipasi berikutnya adalah bagaimana membebaskan kaum wanita dari ‘penjara kesadaran’nya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world). Konon hanya dengan cara ini perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi, eksploitasi dan subordinasi.“Sesungguhnya orang-orang Islam, laki-laki maupun perempuan, orang-orang beriman, laki-laki maupun perempuan, orang-orang taat, laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang jujur, laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang sabar, laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang khusyu’, laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang suka bersedekah, laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang berpuasa, orang-orang yang menjaga kemaluannya, laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang senantiasa mengingat Allah, laki-laki maupun perempuan, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian difirmankan Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab ayat 35). Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan bahwa sesungguhnya perempuan itu setara dengan laki-laki (an-nisā’ syaqā’iqu r-rijāl), menurut sebuah hadits riwayat Imam Abu Dāwud dan Imam anNasā’i. Jelaslah bahwa yang penting bukan jenis kelaminnya, akan tetapi amal ibadah seseorang.   Oleh karena itu, apabila di kalangan Muslim pada kenyataannya masih selalu dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, maka yang seharusnya dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Toh , di tanah kelahirannya sendiri, gerakan feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa menghapus-kan berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Berdasarkan hasil sebuah survey ilmiah, kendati undang-undang persamaan upah (Equal Pay Act 1970) di Inggris sudah berusia 30 tahun lebih, wanita yang bekerja sepenuh waktu di negeri itu digaji 18% lebih rendah dari pekerja laki-laki. Sementara mereka yang bekerja separuh waktu menerima upah 39% lebih rendah berbanding laki-laki. Begitu juga di Amerika Serikat, pendapatan kaum wanita rata-rata 25% lebih rendah dibanding lakilaki. Penelitian lain menemukan bahwa rata-rata dalam tiap 10 detik di Inggris telah terjadi beragam tindak kekerasan terhadap wanita, berupa pemukulan, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Ini semua belum termasuk tindak pelecehan seksual dan sebagainya. Dr. Lois Lamya (istri almarhum Profesor Isma‘il Raji al-Faruqi) mungkin benar, gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil bila tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Disamping itu, gerakan feminis di kalangan Muslim juga seyogyanya diletakkan dalam bingkai pembangunan Umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanita saja. Terakhir, pejuang gender juga perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka, agar tidak ‘menabrak rambu-rambu’ yang ada dan tidak ‘menuai badai’. Sebab, seperti kata Imam al-Ghazali, segala sesuatu jika sudah melewati batas, justru memantulkan kebalikannya (kullu syay’in idzā bālagha haddahu in‘kasa ‘alā dhiddihi).
Untuk menjelaskan kedudukan perempuan dalam hukum Islam, dasar hukum yang harus dipegangi adalah kedua sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah (hadis). Dari dua sumber inilah diperoleh prinsip-prinsip yang pasti untuk melihat kedudukan perempuan dalam Islam. Namun, harus dimaklumi bahwa prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah terkadang dipraktikkan berbeda oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan harus disadari pula bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW yang sebenarnya menyuarakan masalah keadilan dan persamaan sering dipahami yang sebaliknya, sehingga di kalangan pemikir Islam (ulama) timbul perbedaan pendapat dalam berbagai permasalahan Islam, termasuk hukum Islam.Al-Qur’an dengan tegas menyebutkan bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan diciptakan dari nafs (jiwa) yang sama, dan bahwa orang laki-laki dan perempuan Muslim adalah masing-masing sebagai pelindung dan sahabat bagi yang lainnya. Keduanya juga memiliki tugas yang sama dan kesempatan untuk memeroleh rahmat dari Allah (QS. al-Taubah [9]: 71). al-Qur’an selalu menekankan logika yang berasal dari Allah, ketika berulang-ulang menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs yang sama (QS. al-Nisa’ [4]: 1, al-An’am [6]: 98, al-A’raf (7): 189, Luqmān (31): 28, dan al-Zumar (39): 6). Dalam al-Qur’an tidak terdapat satu penjelasan sedikit pun seperti dalam kitab-kitab suci lainnya bahwa perempuan diciptakan dari suatu bahan yang lebih rendah dari bahan untuk laki-laki, bahwa status perempuan adalah parasit dan rendah, atau bahwa Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk kiri Adam. Di samping itu, dalam al-Qur’an tidak ada satu pandangan pun yang meremehkan perempuan berkenaan dengan watak dan struktur bawaannya. al-Qur’an membersihkan perempuan dari tuduhan sebagai sumber godaan dan dosa seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab suci lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Murteza Mutahhari, Perempuan dan Hak-haknya dalam Islam. Alih bahasa oleh M. Hashem dari “The Rights of Women in Islam.” (Bandung: Pustaka, 1985), h. 96-97
249Gender dan Feminisme dalam Islam ( Heri Junaidi dan Abdul Hadi)
Riffat Hassan, ,” Teologi Perempuan Dalam Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 4/1991.
Anang Haris Himawan, Teologi Feminisme dalam Budaya Global: Telaah Kritis Fiqh Perempuan, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VII No. 4. 1997, h. 37.
Nurul Agustina, Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society, dalam Islam, Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, ed.
Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar, 2002), h. 22.

No comments:

Post a Comment