NAMA: Nicolas Jordan Alfayet
NIM : 17.01.051.066
KELAS : FIKOM B 17
Gender
merupakan satu di antara sejumlah wacana yang bisa disebut kontemporer yang
cukup menyita perhatian banyak kalangan, mulai para remaja, kalangan aktivis pergerakan,
akademisi dan mahasiswa, kalangan legislatif dan pemerintah, hingga para
agamawan. Maksud wacana ini adalah menutup ketidakadilan sosial berdasarkan
perbedaan jenis kelamin, selanjutnya berupaya mewujudkan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan pada aspek sosialnya. Dan sampai saat ini, wacana
gender setidaknya dapat kategorikan menjadi empat penampilan, yaitu sebagai
suatu gerakan, sebagai diskursus kefilsafatan, perkembangan dari isu sosial ke
isu keagamaan, dan sebagai pendekatan dalam studi agama. Tulisan ini akan
membahas perspektif kesetaraan gender sebagaimana dipahami oleh para feminis
muslim. Secara umum dapat disebutkan bahwa tujuan perjuangan feminisme adalah
mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola
kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar
rumah tangga.
Perbedaan
gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan
bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender
telah menciptakan ketidak-adilan, terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan
gender merupa-kan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau
perempuan menjadi korban. Ketidakadilan tersebut termanifestasikan dalam bentuk
marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak perlu
berpartisipasi dalam pembuatan atau pengam-bilan keputusan politik, stereotip,
diskriminasi dan kekerasan.
Fakta
membuktikan bahwa di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara
Muslim, perempuan secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa
ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang
sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi
haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Bahkan dalam
melakukan perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.
Menurut
Heyzer (1991), gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu
tingkah laku sosial yang terstruktur. Sedangkan Illich (1983) berpendapat bahwa
gender dimaksudkan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara
sosial, yang mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku. Di sisi
lain, Lerner (1986) mendefinisikan gender sebagai suatu tingkah laku yang
sesuai dengan jenis kelamin pada suatu masyarakat yang dilaksanakan pada waktu
tertentu.
H.T. Wilson
dalam bukunya Sex and Gender menyatakan bahwa gender adalah suatu dasar untuk
menentukan perbedaan sumbangan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang
menyebabkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Ada aspek
dominan pada laki-laki dan ada aspek dominan pada perempuan. Perbedaan tersebut
terdiri dari aspek agresivitas, emosi, kompetisi, dan ambisinya. Laki-laki
cenderung lebih agresif daripada perempuan. Perempuan cenderung emosional,
sementara laki-laki cenderung rasional. Perempuan tidak suka kompetitif,
sementara lakilaki cenderung kompetitif.Dalam memahami makna gender, ada juga
yang melihatnya dari perspektif perbedaan fisikal antara laki-laki dan
perempuan, namun ada juga yang melihatnya dari sisi budaya. Dari segi fisikal,
sebagaimana diuraikan di atas memang sangat kentara perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Namun demikian, membedakan antara laki-laki dengan perempuan
hanya dari sisi fisikal saja tentu tidak cukup sebab ada seseorang yang secara
fisikal menunjukkan indikator kelaki-lakian atau keperempuanan, namun secara
psikologis atau kejiwaan ternyata sebaliknya. Inilah yang dalam konsep ilmu
sosial sering disebut sebagai the third sex (gender ketiga).Perbedaan antara
laki-laki dan perempuan ternyata tidak sekadar fisikal belaka, tetapi juga
psikologikal. Ada juga orang yang secara fisikal laki-laki, namun kejiwaannya
perempuan dan begitu juga sebaliknya. Inilah yang disebut transeksual. Dari
kecenderungan itu kemudian muncul istilah lesbian (perempuan yang menyukai
perempuan) dan homoseksual (laki-laki yang menyukai laki-laki).Perbedaan antara
laki-laki perempuan juga terkait dengan budaya. Perbedaan ini biasanya
dikaitkan dengan bagaimana konstruksi budaya tentang peran, fungsi dan
sumbangan laki-laki atau perempuan di dalam kehidupan sosial, politik, dan
budaya. Inilah yang sering menyebabkan adanya perbedaan gender yang kurang
simpatik. Di dalam dunia kerja, misalnya, muncul konsep kerja perempuan yang bercorak
domestik dan kerja laki-laki yang bercorak publik. Di dalam kehidupan sosial,
politik, dan budaya juga sering menghasilkan pandangan bahwa perempuan adalah
warga negara kelas dua sehingga dalam banyak hal, perempuan tidak dilibatkan di
dalam persoalan ekonomi, politik, dan budaya.
Feminisme
dalam konsep islam, islam tidak membedakan laki-laki dan wanita dalam hal
tingkatan takwa, dan surga juga tidak dikhususkan untuk laki-laki saja. Tetapi
untuk laki-laki dan perempuan yang bertakwa dan beramal sholih.Islam
mendudukkan wanita dan laki-laki pada tempatnya. Tak dapat dibenarkan anggapan
para orientalis dan musuh islam bahwa islam menempatkan wanita pada derajat
yang rendah atau di anggap masyarakat kelas dua. Dalam Islam, sesungguhnya
wanita dimuliakan. Banyak sekali ayat Al-qur’an ataupun hadis nabi yang
memuliakan dan mengangkat derajat wanita. Baik sebagai ibu, anak, istri,
ataupun sebagai anggota masyarakat sendiri,Tak ada diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan dalam islam, akan tetapi yang membedakan keduanya
adalah fungsionalnya.
Selain hak
pendidikan dan politik, para aktivis perempuan itu juga menuntut reformasi
hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan.
Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja,
penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin
(genderbased differentiation) dihapuskan sama sekali. Karyawan tidak boleh
dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan
penghargaan yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan
dan pengasuhan anak. Agenda emansipasi berikutnya adalah bagaimana membebaskan
kaum wanita dari ‘penjara kesadaran’nya, mengingatkan wanita bahwa mereka
tengah berada dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia
yang dikuasai laki-laki (male-dominated world). Konon hanya dengan cara ini
perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi, eksploitasi dan
subordinasi.“Sesungguhnya orang-orang Islam, laki-laki maupun perempuan,
orang-orang beriman, laki-laki maupun perempuan, orang-orang taat, laki-laki
maupun perempuan, orang-orang yang jujur, laki-laki maupun perempuan,
orang-orang yang sabar, laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang khusyu’,
laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang suka bersedekah, laki-laki maupun
perempuan, orang-orang yang berpuasa, orang-orang yang menjaga kemaluannya,
laki-laki maupun perempuan, orang-orang yang senantiasa mengingat Allah,
laki-laki maupun perempuan, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar.” Demikian difirmankan Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab ayat
35). Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan bahwa sesungguhnya perempuan itu
setara dengan laki-laki (an-nisā’ syaqā’iqu r-rijāl), menurut sebuah hadits
riwayat Imam Abu Dāwud dan Imam anNasā’i. Jelaslah bahwa yang penting bukan
jenis kelaminnya, akan tetapi amal ibadah seseorang. Oleh karena itu, apabila di kalangan Muslim
pada kenyataannya masih selalu dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, maka yang
seharusnya dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Toh , di tanah
kelahirannya sendiri, gerakan feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa
menghapus-kan berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap kaum
perempuan. Berdasarkan hasil sebuah survey ilmiah, kendati undang-undang
persamaan upah (Equal Pay Act 1970) di Inggris sudah berusia 30 tahun lebih,
wanita yang bekerja sepenuh waktu di negeri itu digaji 18% lebih rendah dari
pekerja laki-laki. Sementara mereka yang bekerja separuh waktu menerima upah
39% lebih rendah berbanding laki-laki. Begitu juga di Amerika Serikat,
pendapatan kaum wanita rata-rata 25% lebih rendah dibanding lakilaki.
Penelitian lain menemukan bahwa rata-rata dalam tiap 10 detik di Inggris telah
terjadi beragam tindak kekerasan terhadap wanita, berupa pemukulan,
pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Ini semua belum termasuk tindak pelecehan
seksual dan sebagainya. Dr. Lois Lamya (istri almarhum Profesor Isma‘il Raji
al-Faruqi) mungkin benar, gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan
berhasil bila tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan
sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum
tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan justru bertentangan dengan nilai-nilai
Islam. Disamping itu, gerakan feminis di kalangan Muslim juga seyogyanya
diletakkan dalam bingkai pembangunan Umat secara keseluruhan, tidak
chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanita saja. Terakhir,
pejuang gender juga perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan
gagasan dan agenda mereka, agar tidak ‘menabrak rambu-rambu’ yang ada dan tidak
‘menuai badai’. Sebab, seperti kata Imam al-Ghazali, segala sesuatu jika sudah
melewati batas, justru memantulkan kebalikannya (kullu syay’in idzā bālagha
haddahu in‘kasa ‘alā dhiddihi).
Untuk
menjelaskan kedudukan perempuan dalam hukum Islam, dasar hukum yang harus
dipegangi adalah kedua sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah
(hadis). Dari dua sumber inilah diperoleh prinsip-prinsip yang pasti untuk
melihat kedudukan perempuan dalam Islam. Namun, harus dimaklumi bahwa
prinsip-prinsip yang sudah digariskan oleh al-Qur’an dan Sunnah terkadang
dipraktikkan berbeda oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan harus
disadari pula bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW yang
sebenarnya menyuarakan masalah keadilan dan persamaan sering dipahami yang
sebaliknya, sehingga di kalangan pemikir Islam (ulama) timbul perbedaan
pendapat dalam berbagai permasalahan Islam, termasuk hukum Islam.Al-Qur’an
dengan tegas menyebutkan bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan diciptakan
dari nafs (jiwa) yang sama, dan bahwa orang laki-laki dan perempuan Muslim
adalah masing-masing sebagai pelindung dan sahabat bagi yang lainnya. Keduanya
juga memiliki tugas yang sama dan kesempatan untuk memeroleh rahmat dari Allah
(QS. al-Taubah [9]: 71). al-Qur’an selalu menekankan logika yang berasal dari
Allah, ketika berulang-ulang menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan
diciptakan dari nafs yang sama (QS. al-Nisa’ [4]: 1, al-An’am [6]: 98, al-A’raf
(7): 189, Luqmān (31): 28, dan al-Zumar (39): 6). Dalam al-Qur’an tidak
terdapat satu penjelasan sedikit pun seperti dalam kitab-kitab suci lainnya
bahwa perempuan diciptakan dari suatu bahan yang lebih rendah dari bahan untuk
laki-laki, bahwa status perempuan adalah parasit dan rendah, atau bahwa Hawa
diciptakan dari salah satu tulang rusuk kiri Adam. Di samping itu, dalam
al-Qur’an tidak ada satu pandangan pun yang meremehkan perempuan berkenaan
dengan watak dan struktur bawaannya. al-Qur’an membersihkan perempuan dari
tuduhan sebagai sumber godaan dan dosa seperti yang dijelaskan dalam
kitab-kitab suci lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Murteza
Mutahhari, Perempuan dan Hak-haknya dalam Islam. Alih bahasa oleh M. Hashem
dari “The Rights of Women in Islam.” (Bandung: Pustaka, 1985), h. 96-97
249Gender
dan Feminisme dalam Islam ( Heri Junaidi dan Abdul Hadi)
Riffat
Hassan, ,” Teologi Perempuan Dalam Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an No.
4/1991.
Anang Haris
Himawan, Teologi Feminisme dalam Budaya Global: Telaah Kritis Fiqh Perempuan,
Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. VII No. 4. 1997, h. 37.
Nurul
Agustina, Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society, dalam Islam, Negara dan
Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, ed.
Siti Ruhaini
Dzuhayatin, dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam
(Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama
dengan McGill-ICIHEP, dan Pustaka Pelajar, 2002), h. 22.
No comments:
Post a Comment