Friday, May 17, 2019

PEREMPUAN DAN POLITIK (SEBERAPA PENTING PERAN PEREMPUAN DI DUNIA POLITIK)



Persentase perempuan di bidang politik indonesia bisa dikatakan masih sangat minim. Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia (PPI) tahun 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada tahun 2017, penduduk perempuannya berjumlah 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,7% dari jumlah populasi. Namun sayangnya, besar populasi perempuan tersebut tidak terepresentasi dalam parlemen. Jumlah peluang bagi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah peluang bagi laki-laki.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan peranan perempuan dalam parlemen, diantaranya ialah dengan memunculkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR. Peraturan ini dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009.
Dalam Undang Undang No. 2 Tahun 2008, berisi tentang kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30% memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.
Meskipun persentase perempuan di ranah politik sudah didorong oleh berbagai kebijakan, namun hasil yang didapat masih jauh dari kata memuaskan. Indonesia merupakan negara berpringkat ke 6 terkait keterwakilan perempuan dalam parlemen di tingkat ASEAN. Peluang perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20%, tepatnya 19,8%.
Sempitnya peluang keterlibatan perempuan untuk berkontribusi di dunia politik diakibatkan karena masih kentalnya kultur patriaki di Indonesia. Hadirnya perempuan di dunia politik membuktikan bahwa adanya keterwakilan perempuan di parlemen menjadi persyarat penuh bagi terciptanya budaya pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif terhadap kepentingan perempuan. Tanpa keterwakilan perempuan di parlemen dalam jumlah yang memadai, kecenderungan untuk menempatkan kepentingan laki-laki sebagai pusat dari pengambilan kebijakan akan sulit dibetampung. Di sebagian besar masyarakat Indonesia, pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik.
Praktik politik patriarkis ini tumbuh subur dan cenderung ditanggapi secara permisif lantaran dilatari oleh sejumlah hal. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, patriarkisme sudah menjadi tradisi dan budaya yang diwariskan turun-temurun, kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan, perempuan yang nyaris selalu menjadi pihak korban atas budaya patriarki tersebut pun lebih sering hanya menerimanya sebagai kodrat. Budaya patriarki kian mendapat pembenarannya ketika penafsiran ajaran agama pun dalam banyak hal lebih berpihak pada kepentingan laki-laki. Selarasnya antara tradisi-budaya dan penafsiran agama inilah yang memungkinkan patriarkisme langgeng dan mewarnai hampir seluruh ranah kehidupan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali ranah politik.
Institusi politik pada umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan perempuan. Misalnya, dalam hal pengajuan bakal calon legislatif perempuan oleh parpol yang seringkali hanya dilakukan demi memenuhi persyaratan pemilu. Selama ini, nyaris tidak ada langkah berarti yang menunjukkan komitmen parpol pada pemberdayaan politik perempuan. Di level rekrutmen anggota dan kaderisasi, perempuan tetap masih menjadi pilihan kedua bagi parpol. Pada umumnya, parpol masih kurang yakin perempuan mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas parpol. Asumsi ini tentu berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun sosial.
Siklus  yang terus berulang inilah yang menjadikan perempuan cenderung tidak memiliki kemandirian politik. Dalam panggung politik baik nasional maupun lokal, perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek, alih-alih subjek. Alhasil, partisipasi politik perempuan pun cenderung rendah.
Menurut Siti Musdah Mulia (2010), rendahnya partisipasi politik perempuan juga dilatari oleh adanya pemahaman dikotomistik tentang ruang publik dan ruang domestik. Bagi sebagian besar perempuan, terutama di level akar rumput dan pedesaan di mana mayoritas perempuan hidup, politik kerap dipersepsikan sebagai ruang publik yang tabu bagi perempuan. Politik juga kerap diidentikkan dengan kemandirian, kebebasan berpendapat dan agresivitas yang umumnya lekat dengan citra maskulin. Lebih dari itu, perempuan desa pada umumnya juga belum sepenuhnya memahami esensi demokrasi dan pentingnya pemilu sebagai salah satu sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang adil, sejahtera dan demokratis.
Semenjak pemilu tahun 1999 hingga tahun 2014, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI belum mencapai angka 30%. Namun, adanya pengaruh dan dorongan  dari kebijakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, peluang keterwakilan perempuan di DPR meningkat .
Kemudian pada tahun 2019 tepatnya pada tanggal 4 sampai 17 juli, pendaftaran bakal calon legislatif untuk pemilu nasional menunjukan adanya peningkatan yang patut diapresiasi dengan berupayanya setiap parpol untuk memaksimalkan kuota 30% caleg perempuan. Di tingkat pusat, 16 parpol peserta pemilu berhasil memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Hal ini menyebabkan terbukanya dan meluasnya peluang serta pergerakan paraperempuan dalam dunia politik.
Menurut politisi muda Tsamara Amany Alatas, perempuan bisa saja mengubah dunia apabila mereka mampu memaksimalkan peran dan potensinya dengan masuk ke dalam dunia politik.
Wanita berusia 21 tahun yang juga menjabat sebagai ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bidang eksternal ini mengungkapkan bahwa selama ini politik selalu dianggap terlalu maskulin, dimana terjun ke dunia politik semata-mata hanya diperuntukkan untuk kaum adam saja. Menurut Sammy, panggilan akrab Tsamara, jika maskulinitas ini dibiarkan begitu saja maka perempuan tak akan pernah dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang berpengaruh pada kemajuan bangsa.
"Kita lihat partai Indonesia berapa ketua umumnya perempuan, jarang gitu pengurus pusatnya banyak yang perempuan dan sebagainya. Kalau misalnya maskulinitas itu dibiarkan dan kemudian politik dianggap sesuatu yang jauh dari kita, kemudian dianggap suatu pekerjaannya laki-laki maka perempuan nggak akan pernah dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan," tutur Sammy di markas Detikcom, Tendean, Jakarta Selatan, Selasa (18/7/2017)
Perempuan memiliki makna yang sangat penting di dunia politik untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Sehingga menurut Sammy, perempuan harus masuk ke dunia politik jika ingin hak-haknya terpenuhi.
"Setiap keputusan itu ada di politik nah kalau perempuan mau hak-haknya terpenuhi mereka harus berada di dalam pengambilan keputusan. Itu harus berada di dalam politik yang ada, dan salah satu caranya ya masuk ke partai politik," jelas Sammy.
Tak hanya berperan untuk turut serta memperjuangkan hak-hak perempuan, mahasiswi semester VI Ilmu Komunikasi Paramadina ini juga mengungkapkan bahwa peran perempuan dalam dunia politik sebagai salah satu bentuk kesetaraan gender dimana baik laki-laki maupun perempuan berada di posisi yang sama.
"Kita nggak menganggap laki-laki itu lebih hebat dari kita, tapi kita juga nggak merendahkan laki-laki. Karena ada juga kan tipe perempuan yang memperjuangkan hak perempuan tapi justru menurunkan hak laki-laki, jadi dia feminis banget saking feminisnya jadi anti laki-laki. Jangan sampai sepertu itu, kesetaraan bagi kita punya hak yang sama dan kemudian berada dalam pengambilan keputusan," imbuhnya.


nama : zayyina solliha
nim: 17.01.051.099

No comments:

Post a Comment