Sunday, May 19, 2019

Kesenjangan Gender Di Pasar Kerjaan


Oleh : Jodi Satriawan S
 (17.01.051.044)

            Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat kaum perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor pekerjaan, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah dari pada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan. Dalam lintasan sejarah, setiap kelompok masyarakat mempunyai konsepsi ideologis tentang jenis kelamin. Di beberapa kelompok ma-syarakat, jenis kelamin digunakan sebagai kriteria yang penting dalam pembagian kerja. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut membagi peran, tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin, meskipun sebagaian di antaranya ada yang dipandang cocok dan wajar untuk dilakukan oleh kedua jenis kedua jenis kelamin. Pekerjaan yang diperuntukkan bagi laki-laki umumnya yang di-anggap sesuai dengan kapasitas biologis, psikologis, dan sosial sebagai laki-laki, yang secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat, tingkat resiko dan bahayanya lebih tinggi karena bekerja di luar rumah, dan tingkat keterampilan dan kerjasamanya lebih tinggi Adapun pekerjaan yang diperuntukkan bagi perempuan yang dikon-sepsikan sebagai orang yang lemah dengan tingkat resiko lebih rendah, cenderung bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi, dan lebih mudah terputus-putus. Oleh karena itu, tingkat keterampilan perempuan dianggap rata-rata lebih rendah di banding laki-laki.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, masih ada kesenjangan yang tinggi antara tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berdasarkan jenis kelamin pada Februari 2017, yakni masih didominasi oleh laki-laki. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, TPAK laki-laki pada Februari lalu sebesar 83,05 persen, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 83,46 persen. Sedangkan TPAk perempuan hanya 55,04 persen, namun meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 52,71 persen. "Namun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, TPAK perempuan mengalami kenaikan sebesar 2,33 persen poin, sementara TPAK laki-laki justru mengalami penurunan sebesar 0,41 persen poin," ujar Suhariyanto dalam acara konferensi pers di Badan Pusat Statistik, Jakarta Pusat, Jumat, 5 Mei 2017.
Menurut penelitian George Peter Murdock, laki-laki lebih konsisten kepada pekerjaan maskulin yaitu memburu binatang, mengerjakan logam, melebur biji-biji, pekerjaan soldir, pertukangan kayu, membuat instrumen musik, menangkap dengan perangkap, membuat kapal, pertukangan batu, mengerjakan tulang-tulang, tanduk dan kulit kering, menambang, dan mengangkut. Perempuan lebih konsisten kepada pekerjaan feminin, yaitu mengumpulkan bahan bakar (kayu), mem-persiapkan minuman, meramu dan menyediakan bahan makanan dari tumbuhan-tumbuhan liar, produksi bahan susu, mencuci, mengambil air dan memasak, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Dalam masyarakat industri, pola pembagian kerja belum banyak berbeda dengan masyarakat agraris. Dalam masyarakat industri kaum perempuan diupayakan untuk terlibat di dalam kegiatan ekonomi, namun masih banyak warisan agraris dipertahankan di dalamnya. Secara umum substansi pola publik domestik masih dipertahankan, karena partisipasi perempuan masih dihargai lebih rendah daripada laki-laki. Lagipula, perempuan masih lebih umum dialokasikan pada bidang-bidang tertentu seperti pekerjaan tulis-menulis, kesekretariatan, jasa, dan yang berhubungan dengan kegiatan pengasuhan dan perawatan seperti guru, perawat. Masih sangat sedikit perempuan yang masuk di dalam lingkaran profesional dan eksekutif. Laki-laki masih tetap dominan di sektor profesi yang memiliki status lebih tinggi, seperti teknik, arsitek, dokter, kontraktor, manajer, dan lain sebagainya. Laki-laki mendominasi industri hulu yang produktivitasnya lebih tinggi, sementara perempuan terlibat dalam industru hilir, yang menangani proses akhir dari sebuah produk (finishing), yang upah produktivitasnya lebih rendah. Tegasnya, dalam masyarakat industri, pembagian kerja secara seksual, cenderung dipertahankan. Pola relasi masih berlangsung tidak seimbang, dan dengan demikian status dan kedudukan perempuan masih lemah. Adapun dalam masyarakat agraris, kaum perempuan pada umum-nya tersisih dari peranan produktif secara ekonomi, dan produksi lebih didominasi oleh laki-laki. Laki-laki mengendalikan produksi, se-mentara perempuan terpojok untuk menjalankan fungsi-fungsi keru-mah-tanggaannya. Dalam masyarakat ini, berkembang pola domestik dan publik. Lingkungan publik didominasi oleh laki-laki yang mencakup ekonomi, politik, kehidupan agama, pendidikan, dan kegiatan lain di luar tempat kediaman. Lingkup domestik didominasi oleh perempuan seperti urusan masak memasak, mencuci, mengurus anak. Dikotomi ini membawa akibat berupa lahirnya ideologi gender yang menjunjung superioritas alamiah laki-laki dan inferioritas alamiah perempuan. Pola relasi gender dalam masyarakat agraris ditandai dengan ciri-ciri ma-syarakat patriarkhi, yang memberikan peranan lebih besar kepada laki-laki, di mana perempuan disisihkan dan dibatasi dari berbagai kegiatan mereka, seperti dilarang memiliki hak milik, terlibat dalam politik, me-ngejar pendidikan, mendapat pengawasan ketat dalam berbagai kegiatan, dan sebagainya. Anggapan masyarakat bahwa perempuan sebaiknya mengurusi di wilayah rumah tangga merupakan anggapan yang stereotipe bahwa jika perempuan bekerja di luar rumah mengakibatkan rumah tangga terganggu keharmonisannya. Meski akan ada dampak jika suami-istri bekerja di luar rumah, akan tetapi solusi yang diambil semestinya tidak membebankan istri dengan dua peran sekaligus (double burden), me-ngasuh anak dan mencari nafkah, akan tetapi suami pun harus bantu-membantu supaya tercapai rumah tangga yang harmonis.
            Sebagian besar daerah di Indonesia menganut budaya patriarki, yaitu budaya yang menjunjung tinggi garis keturunan laki-laki, dengan kata lain, budayaini mengistimewakan kaum adam dan menjadikan perempuan sebagai kaum yang berada pada uruta kedua.  Menurut hokum agama, laki-laki memang dianggap sebagai pemimpin dan kepala keuarga dalam suatu rumah tangga. Perempuan tidak seharusnya menyalahi kodratnya untuk berada lebih di atas dari pada laki-laki. Para ahli antropologi banyak yang setuju akan hokum agama yang berlaku, tetapi bnyak orang yangtelah salah memaknai teori perempuan sebagai kelas kedua, sehingga muncul yang dinamakan ketidakadilan gender. Darwin (2005) mengatakan bahwa budaya patriarki  juga timbul di Negara-negara barat termasuk Indonesia , pada masyarakat patriarki, nilai-nilai kutur yang berhubungan dengan perempuan menimbulkan ketidak setaraan gender yang menempatkan posisi perempuan secara tidak adil. Menurut Zabrina (2009) dari Mediterranean Institute of Gender Studies, gender diartikan sebagai sebuah konsep yang merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, dapat berubah-ubah dan mempunyai perbedaan luas di dalam dan di tengah-tengah budaya. Berlawanan dengan karakteristik tegas secara biologis, gender merujuk pada tingkah laku dan harapan-harapan untuk mewujudkan sebuah image dari maskulinitas dan femininitas. Hal ini juga digunakan secara sosial, ekonomi dan politik untuk menganalisis peran masyarakat, ltanggung jawab, kendala dan peluang.


Referensi:
Patimah. 2003. “Dinamika Ekonomi Perepuan dalam Industri Kecil dan Menengah”. Jurnal Equalita. Vol. 3. No. 2. Juni 2003.
Khotimah, Khusnul. 2009. “Deskriminasi Gender Terhadap Perempyan dalam Sektor Pekerjaan”. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto. Vol. 4. No. 1.juni 2009.
Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). 2017.
Rohani, Siti. 1998. Analisis Makro Penyertaan Tenaga Kerja Perempuan dalam Proses Pembangunan.
Afrida, 2003, Ekonomi Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta
Astiti, Ni Wayan Sri, 2006, Profil Rumah Tangga Migran Perempuan dan Anak di kabupatren Buleleng, Socavol 6 Pebruari 2006
Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi 4/November 1996, Yayasan Akatiga, Bandung.
Fakih, M., 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Megawangi, R., 1999, Membiarkan Berbeda? : Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Mizan, Bandung
Sinungan, Muchdarsyah, 2000. Produktivitas tenaga kerja Perempuan, Penerbit Bumi Alksara.
Umar, N., 1999, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al Qur’an, Paramadina, Jakarta.


No comments:

Post a Comment