Oleh : Jodi Satriawan S
(17.01.051.044)
Adanya segmentasi jenis kelamin
angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat
deskriminatif atas dasar gender membuat kaum perempuan terkonsentrasi dalam
sejumlah kecil sektor pekerjaan, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus
lebih rendah dari pada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa
pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan
keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga
kerja perempuan. Dalam lintasan sejarah, setiap kelompok
masyarakat mempunyai konsepsi ideologis tentang jenis kelamin. Di beberapa
kelompok ma-syarakat, jenis kelamin digunakan sebagai kriteria yang penting
dalam pembagian kerja. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut membagi peran,
tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin, meskipun sebagaian di antaranya ada
yang dipandang cocok dan wajar untuk dilakukan oleh kedua jenis kedua jenis
kelamin. Pekerjaan yang diperuntukkan bagi laki-laki umumnya yang di-anggap
sesuai dengan kapasitas biologis, psikologis, dan sosial sebagai laki-laki,
yang secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat,
tingkat resiko dan bahayanya lebih tinggi karena bekerja di luar rumah, dan
tingkat keterampilan dan kerjasamanya lebih tinggi Adapun pekerjaan yang
diperuntukkan bagi perempuan yang dikon-sepsikan sebagai orang yang lemah
dengan tingkat resiko lebih rendah, cenderung bersifat mengulang, tidak
memerlukan konsentrasi, dan lebih mudah terputus-putus. Oleh karena itu,
tingkat keterampilan perempuan dianggap rata-rata lebih rendah di banding
laki-laki.
Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat, masih ada kesenjangan yang tinggi antara
tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berdasarkan jenis kelamin pada
Februari 2017, yakni masih didominasi oleh laki-laki. Menurut
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto, TPAK laki-laki pada Februari lalu
sebesar 83,05 persen, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar
83,46 persen. Sedangkan TPAk perempuan hanya 55,04 persen, namun meningkat
dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 52,71 persen. "Namun
dibandingkan periode yang sama tahun lalu, TPAK perempuan mengalami kenaikan
sebesar 2,33 persen poin, sementara TPAK laki-laki justru mengalami penurunan
sebesar 0,41 persen poin," ujar Suhariyanto dalam acara konferensi pers di
Badan Pusat Statistik, Jakarta Pusat, Jumat, 5 Mei 2017.
Menurut
penelitian George Peter Murdock, laki-laki lebih konsisten kepada pekerjaan
maskulin yaitu memburu binatang, mengerjakan logam, melebur biji-biji,
pekerjaan soldir, pertukangan kayu, membuat instrumen musik, menangkap dengan
perangkap, membuat kapal, pertukangan batu, mengerjakan tulang-tulang, tanduk
dan kulit kering, menambang, dan mengangkut. Perempuan lebih konsisten kepada
pekerjaan feminin, yaitu mengumpulkan bahan bakar (kayu), mem-persiapkan
minuman, meramu dan menyediakan bahan makanan dari tumbuhan-tumbuhan liar,
produksi bahan susu, mencuci, mengambil air dan memasak, dan pekerjaan rumah
tangga lainnya. Dalam masyarakat industri, pola pembagian kerja belum banyak
berbeda dengan masyarakat agraris. Dalam masyarakat industri kaum perempuan
diupayakan untuk terlibat di dalam kegiatan ekonomi, namun masih banyak warisan
agraris dipertahankan di dalamnya. Secara umum substansi pola publik domestik
masih dipertahankan, karena partisipasi perempuan masih dihargai lebih rendah
daripada laki-laki. Lagipula, perempuan masih lebih umum dialokasikan pada
bidang-bidang tertentu seperti pekerjaan tulis-menulis, kesekretariatan, jasa,
dan yang berhubungan dengan kegiatan pengasuhan dan perawatan seperti guru,
perawat. Masih sangat sedikit perempuan yang masuk di dalam lingkaran
profesional dan eksekutif. Laki-laki masih tetap dominan di sektor profesi yang
memiliki status lebih tinggi, seperti teknik, arsitek, dokter, kontraktor,
manajer, dan lain sebagainya. Laki-laki mendominasi industri hulu yang
produktivitasnya lebih tinggi, sementara perempuan terlibat dalam industru
hilir, yang menangani proses akhir dari sebuah produk (finishing), yang upah produktivitasnya lebih rendah. Tegasnya,
dalam masyarakat industri, pembagian kerja secara seksual, cenderung
dipertahankan. Pola relasi masih berlangsung tidak seimbang, dan dengan demikian
status dan kedudukan perempuan masih lemah. Adapun dalam masyarakat agraris,
kaum perempuan pada umum-nya tersisih dari peranan produktif secara ekonomi,
dan produksi lebih didominasi oleh laki-laki. Laki-laki mengendalikan produksi,
se-mentara perempuan terpojok untuk menjalankan fungsi-fungsi
keru-mah-tanggaannya. Dalam masyarakat ini, berkembang pola domestik dan
publik. Lingkungan publik didominasi oleh laki-laki yang mencakup ekonomi,
politik, kehidupan agama, pendidikan, dan kegiatan lain di luar tempat
kediaman. Lingkup domestik didominasi oleh perempuan seperti urusan masak
memasak, mencuci, mengurus anak. Dikotomi ini membawa akibat berupa lahirnya
ideologi gender yang menjunjung superioritas alamiah laki-laki dan inferioritas
alamiah perempuan. Pola relasi gender dalam masyarakat agraris ditandai dengan
ciri-ciri ma-syarakat patriarkhi, yang memberikan peranan lebih besar kepada
laki-laki, di mana perempuan disisihkan dan dibatasi dari berbagai kegiatan
mereka, seperti dilarang memiliki hak milik, terlibat dalam politik, me-ngejar
pendidikan, mendapat pengawasan ketat dalam berbagai kegiatan, dan sebagainya. Anggapan
masyarakat bahwa perempuan sebaiknya mengurusi di wilayah rumah tangga
merupakan anggapan yang stereotipe bahwa jika perempuan bekerja di luar rumah
mengakibatkan rumah tangga terganggu keharmonisannya. Meski akan ada dampak
jika suami-istri bekerja di luar rumah, akan tetapi solusi yang diambil
semestinya tidak membebankan istri dengan dua peran sekaligus (double burden), me-ngasuh anak dan
mencari nafkah, akan tetapi suami pun harus bantu-membantu supaya tercapai
rumah tangga yang harmonis.
Sebagian besar daerah di Indonesia
menganut budaya patriarki, yaitu budaya yang menjunjung tinggi garis keturunan
laki-laki, dengan kata lain, budayaini mengistimewakan kaum adam dan menjadikan
perempuan sebagai kaum yang berada pada uruta kedua. Menurut hokum agama, laki-laki memang
dianggap sebagai pemimpin dan kepala keuarga dalam suatu rumah tangga.
Perempuan tidak seharusnya menyalahi kodratnya untuk berada lebih di atas dari
pada laki-laki. Para ahli antropologi banyak yang setuju akan hokum agama yang
berlaku, tetapi bnyak orang yangtelah salah memaknai teori perempuan sebagai
kelas kedua, sehingga muncul yang dinamakan ketidakadilan gender. Darwin (2005)
mengatakan bahwa budaya patriarki juga
timbul di Negara-negara barat termasuk Indonesia , pada masyarakat patriarki,
nilai-nilai kutur yang berhubungan dengan perempuan menimbulkan ketidak
setaraan gender yang menempatkan posisi perempuan secara tidak adil. Menurut Zabrina (2009)
dari Mediterranean Institute of Gender Studies, gender diartikan sebagai sebuah
konsep yang merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, dapat berubah-ubah dan mempunyai
perbedaan luas di dalam dan di tengah-tengah budaya. Berlawanan dengan karakteristik
tegas secara biologis, gender merujuk pada tingkah laku dan harapan-harapan
untuk mewujudkan sebuah image dari maskulinitas dan femininitas. Hal ini juga
digunakan secara sosial, ekonomi dan politik untuk menganalisis peran
masyarakat, ltanggung jawab, kendala dan peluang.
Referensi:
Patimah.
2003. “Dinamika Ekonomi Perepuan dalam
Industri Kecil dan Menengah”. Jurnal Equalita. Vol. 3. No. 2. Juni 2003.
Khotimah,
Khusnul. 2009. “Deskriminasi Gender
Terhadap Perempyan dalam Sektor Pekerjaan”. Pusat Studi Gender STAIN
Purwokerto. Vol. 4. No. 1.juni 2009.
Badan Pusat Statistik (BPS) tentang
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). 2017.
Rohani,
Siti. 1998. Analisis Makro Penyertaan
Tenaga Kerja Perempuan dalam Proses Pembangunan.
Afrida,
2003, Ekonomi Sumber Daya Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta
Astiti,
Ni Wayan Sri, 2006, Profil Rumah Tangga
Migran Perempuan dan Anak di
kabupatren Buleleng, Socavol 6 Pebruari 2006
Analisis
Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi 4/November 1996,
Yayasan Akatiga, Bandung.
Fakih,
M., 1996, Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Megawangi,
R., 1999, Membiarkan Berbeda? : Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender,
Mizan, Bandung
Sinungan,
Muchdarsyah, 2000. Produktivitas tenaga kerja Perempuan, Penerbit Bumi
Alksara.
Umar,
N., 1999, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al Qur’an, Paramadina, Jakarta.
No comments:
Post a Comment