Friday, May 31, 2019

Hambatan Perempuan Dan Kesenjangan Gender Di Pasar Politik

Oleh : Selamat Riadi (17.01.051.084)
Di Indonesia gambaran  peran perempuan dunia publik yang terkait dengan politik secara statistikmasih belum menggembirakan. Hal itu dapat dicermati dari hasil pemilu dari tahun ke tahun.2 Peranperempuan di bidang politik, termasuk pucuk pimpinan penentu kebijakan di pemerintahan baik tingkatpusat maupun daerah, desa sekalipun, masih didominasi kaum pria. Bukan berarti tokoh politikperempuan, dan pemimpin perempuan di bidang  pemerintahan tidak ada, namun jumlahnya masihsangat jauh dari imbang dengan jumlah pemimpin dan tokoh politik laki-laki. Sementara itu secara statistik jumlah penduduk lebih banyak perempuan daripada laki-laki Minimya jumlah perempuan sebagai penentu kebijakan politik, menyebabkan keputusan mengenai kebijakan umum yang mempengaruhi kesejajaran perempuan masih dipegang oleh laki-laki, yangsebagian besar masih meng-image-kan bahwa politik tidak cocok untuk perempuan, perempuan manutsaja apa keputusan politik yang akan diambil oleh laki-laki karena laki-laki yang tahu dan layakberpolitik, serta segudang image patriarkhi lainnya. 
Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur perempuan selalu terwakili di DPR dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kongres Wanita Indonesia pertama pada tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi wanita Indonesia dalam upaya memperluas peran publik mereka, khususnya dalam politik. Dalam forum ini organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok etnis, agama dan bahasa dipersatukan. Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan mengembangkan jaringan. Organisasi dan gerakan wanita ini meningkatkan posisi tawar perempuan, sebagaimana terlihat dari frekuensi keterlibatan para pemimpin organisasi-organisasi tersebut dalam berbagai kegiatan pembangunan, yang dilaksanakan oleh masyarakat, pemerintah dan institusi lainnya. Dalam konteks politik, organisasi-organisasi yang melatih dan meningkatkan kapasitas diri perempuan ini merupakan jaringan yang efektif untuk merekrut kendidat anggota legislatif. Pada pemilihan umum pertama, tahun 1955, beberapa calon anggota legislatif perempuan merupakan anggota organisasi perempuan yang berafiliasi pada partai. Pada pemilu berikutnya, ada kecenderungan bahwa kandidat anggota legislatif berasal dari kalangan pimpinan organisasi-organisasi perempuan yang bernaung di bawah partai atau berafiliasi dengan partai. Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik.

Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat kaum perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor pekerjaan, umumnya pada pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih rendah dari pada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan. Dalam lintasan sejarah, setiap kelompok masyarakat mempunyai konsepsi ideologis tentang jenis kelamin. Di beberapa kelompok ma-syarakat, jenis kelamin digunakan sebagai kriteria yang penting dalam pembagian kerja. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut membagi peran, tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin, meskipun sebagaian di antaranya ada yang dipandang cocok dan wajar untuk dilakukan oleh kedua jenis kedua jenis kelamin. Pekerjaan yang diperuntukkan bagi laki-laki umumnya yang di-anggap sesuai dengan kapasitas biologis, psikologis, dan sosial sebagai laki-laki, yang secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat, tingkat resiko dan bahayanya lebih tinggi karena bekerja di luar rumah, dan tingkat keterampilan dan kerjasamanya lebih tinggi Adapun pekerjaan yang diperuntukkan bagi perempuan yang dikon-sepsikan sebagai orang yang lemah dengan tingkat resiko lebih rendah, cenderung bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi, dan lebih mudah terputus-putus. Oleh karena itu, tingkat keterampilan perempuan dianggap rata-rata lebih rendah di banding laki-laki. 

Referensi:

http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/download/183/154

No comments:

Post a Comment