Oleh Obby Setyadi (17.01.051.072)
Indonesia merupakan negeri dengan populasi orang Islam terbesar
di dunia. Namun, sejak kemerdekaannya ditahun 1945, pemerintahan sekuler
memimpin negeri ini. Relasi gender sendiri memang memainkan peran sentral dalam
konstruksi dan dekonstruksi nasionalisme Aceh sejak abad ke-17. Selain
perempuan, ketiga aktor sentral lain, yaitu pemerintah pusat dan militer
Indonesia, GAM, dan para Ulama, semua menggunakan strategi politik gender untuk
meraih tujuan-tujuan politik mereka.
Scott (1988, h. 42-45)
mendefinisikan gender sebagai suatu elemen dasar dari relasi sosial yang
didasarkan pada pandangan perbedaan antara jenis kelamin yang merupakan cara
utama melambangkan relasi kekuasaan. Scott lebih lanjut menyediakan panduan
untuk melihat empat elemen relasi gender yang saling terkait.
Pertama, ia mengajak kita untuk melihat pada pembuatan perempuan
menjadi simbol kultural yang mengacu pada representasi tertentu.
Kedua, konsep-konsep normatif, yang diekspresikan dalam
doktrindoktrin agama, pendidikan, ilmu pengetahuan (ilmiah), hukum, dan
politik, yang menentukan penafsiran pemaknaan simbol harus juga dipahami.
Ketiga, perhatian harus diarahkan pada bagaimana gender
dikonstruksikan lewat institusi dan organisasi sosial.
Keempat, kita harus mengkaji bagaimana identitas gender dikonstruksi
secara substantif untuk menjadi suatu identitas subjektif, dan mengkaitkan
temuan-temuannya dengan serangkaian aktivitas, organisasi sosial, dan
representasi kultural tertentu yang historis.
Hubungan antara wacana
nasionalisme, relasi gender, dan Islam di Aceh telah membuat para Ulama dan GAM
mengubah perempuan Aceh menjadi sebuah lambang penerapan syariat Islam.
Mereka yang menolak untuk tunduk dan bertingkah laku dengan cara tertentu harus
didisiplinkan, jika perlu dengan kekerasan. “Women, in their ‘proper’
behavior, their ‘proper’ clothing, embody the line which signifies the
collectivity’s boundaries – perempuan, dengan sikap yang ‘pantas’,
dengan pakaian yang ‘pantas’, menyimbolkan identitas kolektivitas.” Semakin
banyak perempuan yang menyesuaikan diri dengan peran yang ditentukan oleh para
Ulama, semakin kuat citra Islam dan nasionalisme berlandaskan Islam.
Menurut International and Human
Rights Watch Women’s Rights Project (1997, h. 2-3), hak asasi manusia :
“are those rights that
every human being possesses and is entitled to enjoy simply by virtue of being
human … Human Rights are based on the fundamental principle that all persons
possess an inherent human dignity and that regardless of sex, race, color,
language, national origin, age, class or religious or political beliefs, they
are equally entitled to enjoy their rights”
“ – adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap insan manusia karena
dia adalah seorang manusia… Hak asasi manusia berlandaskan pada prinsip
mendasar bahwa semua orang memiliki martabat kemanusiaan di dalam dirinya tanpa
memandang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, asal bangsa, usia, kelas
sosial atau agama atau kepercayaan politik, dan mereka sama-sama berhak
menikmati hak-haknya.”
Dalam menuntut persamaan hak asasi manusia yang dinikmati oleh
pasangan laki-lakinya, perempuan Aceh dapat menggunakan strategi penafsiran
ulang naskah dan sejarah, dan mengambil alih simbol simbol kekuasaan yang
dulunya dikuasai oleh laki-laki. Bukan pula karena pertemuan itu dihadiri oleh
lebih dari lima ratus perempuan Aceh. Yang mencerminkan pengambil-alihan
simbol-simbol kekuasaan yang dulunya dikuasai oleh laki-laki adalah fakta bahwa
pertemuan itu diadakan di Mesjid Raya Baiturahman di Banda Aceh, dan pertemuan
itu dibuka dengan genderang mesjid tambo (gendang besar terbuat dari
kulit binatang) telah membuat pertemuan tersebut menjadi pertemuan yang
subversif terhadap symbol-simbol yang dominan. Kesenjangan antara tingkat
partisipasi perempuan dalam politik dan tingkat kesejahteraan mereka memerlukan
pembahasan yang lebih mendalam. Epilog ini hanya mengajak untuk selalu
mengaitkan upaya dekonstruksi wacana tentang perempuan Aceh dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan perempuan Aceh itu sendiri.
Tumbuhnya kesadaran dan keadilan gender diberbagai lapisan masyarakat saat ini,
tidak lepas dari rentetan perjuangan kaum feminis diberbagai masa sebelumnya.
Feminisme sebagai teori dan gerakan sosial, berkembang dan membawa perubahan
yang baik dalam masyarakat. Tapi harus diingat, tak satupun pihak yang
mengagendakan perubahan menuju keadilan gender kecuali perempuan itu sendiri.
Artinya, kesempatan mengakses dunia politik, ekonomi, dan lain-lain yang
terbuka harus diikuti secara langsung oleh kelompok perempuan.
Gender dalam arti seksualitas secara
historis-politik dipandang sebagai refleksi kesucian dan dimensi transenden
dalam kehidupan manusia, terutama pada masyarakat Timur. Di sisi lain, agama
adalah sistem diskursif dalam kepercayaan dan praktik yang menawarkan struktur
tatanan moral, makna kultural dan tujuan motivasional individual ataupun
kolektif melalui eksplorasi simbol transenden dan komunikasi spiritual dengan
realitas supernatural yang suprematif. Tantangan utama agama pada masa sekarang
adalah perubahan sosial yang diiringi dengan perubahan pandangan secara radikal
mengenai relasi dan peran gender. Prinsip ekualitas gender dalam masa modern
yang termanifestasikan dalam proposisi bahwa perempuan dan pria diciptakan sama
merupakan kebenaran global yang terbukti sendiri.
Selain itu, ekualitas gender
dalam nilai, status dan akses terhadap sumber daya dan kekuasaan sangat penting
dalam menolak pengaruh radikalisasi bagi kaum muda dan perempuan secara umum.
Memanfaatkan celah ini dalam deradikalisasi sangat urgen ditinjau dari beberapa
aspek.
Pertama,
kaum perempuan merupakan pihak yang dijadikan sebagai korban ekstremisme yang
tidak menyediakan tempat bagi opini perempuan atau pengakuan akan kehendak
bebas mereka. Dalam arti, kepatuhan perempuan potensial digunakan sebagai dasar
untuk menekan mereka terlibat dalam radikalisasi, baik kekerasan atau
non-kekerasan.
Kedua, perempuan
mempunyai peran yang kompleks dalam melibatkan diri dalam mendukung dan
mendorong kekerasan religius. Penelitian van de Linde dan van der Duin menyatakan
pentingnya peran perempuan bahwa peran perempuan dalam kekerasan ekstremis.
Rasionalisasinya adalah perempuan potensial terlibat dalam radikalisasi teroris
dan pelibatan mereka dalam aksi terorisme cenderung diabaikan.
Ketiga, domestikasi
dan eksklusi perempuan dalam kehidupan publik dan produksi teks keagamaan
membuat mereka dapat menjadi aktif menerima bahan pengajaran yang bisa saja
diekploitasi untuk mendukung terorisme. Radikalisasi terhadap perempuan sebagai
korban dan pelaku tidak hanya berasal dari praktik radikal, tetapi juga dapat
berasal dari teks-teks keagamaan yang subordinatif-diskriminatif perempuan.
Radikalisasi merupakan sebuah proses
yang diinisiasi dari ide dan ajaran yang bermula dari tahap individual. Dalam
konteks ini, deteksi dini radikalisasi dengan melibatkan perempuan dapat
berjalan secara efektif. Hal ini didasari fakta bahwa perempuan memainkan peran
vital dalam keluarga, secara partikular dalam pembentukan karakter anak-anak.
Perempuan juga menawarkan perspektif yang beragam dalam memecahkan persoalan.
Deradikalisasi kekerasan dan ekstremisme
membutuhkan intervensi dalam setiap tahap spektrum radikalisasi dari mulai
pengukuran penggunaan kekuatan hingga investasi pembangunan proaktif untuk
memenuhi tuntutan sosio-ekonomi masyarakat, untuk mengounter ideologi ekstremis
dan merehabilitasi individu yang terlibat radikalisasi. Operasi kontra
radikalisasi membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat lokal guna
mempertahankan kredibilitas pemerintah dan kepercayaan dengan selalu menjalin
kerjasama.
Perempuan merupakan guru alami bagi
keluarga dan anak-anak, maka mereka harus memainkan peran vital dalam
mempengaruhi kebijakan keluarga. Karena pendidikan merupakan proses
transformasi intelektual dan pengetahuan, termasuk pembentukan karakter anak
yang tidak hanya terbatas pada bentuk formal tetapi juga informal dalam lingkup
keluarga. Pelibatan perempuan sangat penting karena mereka mempunyai kemampuan
prevensi dalam tahap deteksi dini radikalisasi, sehingga peran deradikalisasi
oleh perempuan menjangkau spektrum yang luas dari proses radikalisasi. Untuk
menciptakan perspektif moderat, perempuan harus berada dalam pendidikan moderat
dalam lingkungan yang moderat.
Mereka merupakan senjata ampuh sebagai
agen kontraterorisme dengan menciptakan strategi berbasis komunits. Ketiga,
wanita Indonesia dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengingkatkan keamanan
dan deteksi dini dengan program berbasis komunitas melalaui perhatian merek
terhadap media dan sarana kampanye lainnya.
Pertama,
reduksi inekualitas gender dan memberikan perempuan peran yang lebih besar
untuk berpartisipasi dalam multi bidang sosial. Reduksi dukungan terhadap radikalisasi
merupakan usaha puncak melawan ancaman terorisme dan induknya, yaitu ideologi
ekstremisme. Penguatan pesan non-kekerasan dan langkah penting untuk membangun
pertahanan komunitas yang kuat.
Kedua, penguatan
kesejahteraan multi sektoral (well-being) guna mencegah terjadinya
radikalisasi. Kesejahteraan dalam lingkup keluarga banyak dibebankan kepada
peran perempuan. Pelibatan perempuan dapat dilaksanakan dalam multi sektor
kehidupan seperti penguatan ekonomi, pendidikan keluarga, agama, pengauatan hukum,
dan informasi berbasis komunitas serta deteksi dini.
Ketiga, menjadikan
perempuan sebagai lokomotif terdepan dalam pendidikan moderat, terutama
dimulai, walaupun tidak terbatas, dari lingkungan keluarga. Maroko melaksanakan
kontraterorisme berbasis pendidikan moderat untuk melawan penyebaran
radikalisasi. Untuk menciptakan kelompok religius moderat, pemerintah melatih
dan mendidik perempuan untuk memfasilitasi pendidikan yang lebih moderat dalam
pemahaman agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Afiff,
Suraya A., “Opini Suraya A. Afiff, Mahasiswi Berkeley, USA”, Kabar dari Flower
Aceh, Edisi 21/Tahun II/Desember 1999.
Akatiga,
Yappika, and Forum LSM Aceh, “Studi Identifikasi kebutuhan Masyarakat Aceh”,
sebuah draf penelitian, 2000.
Alfian,
Teuku Ibrahim, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi
dan Informasi Aceh, 1999.
Ali,
Fachry, “Bagaimana Negara Menghampiri Rakyat? Masyarakat Aceh dan Negara Orde
Baru”, dalam Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi (eds.), Regionalisme,
Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1998.
Amar, Paul.
“Middle East Masculinity Studies: Discourses of Men in Crisis,” Industries of
Gender in Revolution”, Journal of Middle East Women’s Studies, 7.3,
2011.
Wulan, Lisa R.
“Enhancing the Role of Women in Indonesia to Counter Terrorism”, Asia
Pacific Center for Security Studies, 2010.
Diani, A.,
Lestari, M. T., & Maulana, S. (2017). Representasi Feminisme Dalam Film Maleficent.
ProTVF: Jurnal Kajian Televisi Dan Film, 1(2).
Wahjana, Jajang, Kekerasan
terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http://www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html
Muchtar, Damayanti, 1999, The Rise of
the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, A thesis submitted for the degree of Master of Philosophy of
Murdoch University, Western Australia
Dzuhayatin, Fakih, Mansour, (et.al.). 2000. Membincang Feminisme: Diskursus Gender Prespektif Islam. Surabaya:
Risalah Gusti.
Warsito. 2012. Sejarah Muncul dan
Berkembangnya Feminisme dan Gender. Makalah dalam http://thesmartestteacher.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-muncul-dab berkembangnya .html
x
No comments:
Post a Comment