Monday, May 13, 2019

Opini Feminisme


Oleh Obby Setyadi (17.01.051.072)

Indonesia merupakan negeri dengan populasi orang Islam terbesar di dunia. Namun, sejak kemerdekaannya ditahun 1945, pemerintahan sekuler memimpin negeri ini. Relasi gender sendiri memang memainkan peran sentral dalam konstruksi dan dekonstruksi nasionalisme Aceh sejak abad ke-17. Selain perempuan, ketiga aktor sentral lain, yaitu pemerintah pusat dan militer Indonesia, GAM, dan para Ulama, semua menggunakan strategi politik gender untuk meraih tujuan-tujuan politik mereka.

            Scott (1988, h. 42-45) mendefinisikan gender sebagai suatu elemen dasar dari relasi sosial yang didasarkan pada pandangan perbedaan antara jenis kelamin yang merupakan cara utama melambangkan relasi kekuasaan. Scott lebih lanjut menyediakan panduan untuk melihat empat elemen relasi gender yang saling terkait.
Pertama, ia mengajak kita untuk melihat pada pembuatan perempuan menjadi simbol kultural yang mengacu pada representasi tertentu.
Kedua, konsep-konsep normatif, yang diekspresikan dalam doktrindoktrin agama, pendidikan, ilmu pengetahuan (ilmiah), hukum, dan politik, yang menentukan penafsiran pemaknaan simbol harus juga dipahami.
Ketiga, perhatian harus diarahkan pada bagaimana gender dikonstruksikan lewat institusi dan organisasi sosial.
Keempat, kita harus mengkaji bagaimana identitas gender dikonstruksi secara substantif untuk menjadi suatu identitas subjektif, dan mengkaitkan temuan-temuannya dengan serangkaian aktivitas, organisasi sosial, dan representasi kultural tertentu yang historis.

Hubungan antara wacana nasionalisme, relasi gender, dan Islam di Aceh telah membuat para Ulama dan GAM mengubah perempuan Aceh menjadi sebuah lambang penerapan syariat Islam. Mereka yang menolak untuk tunduk dan bertingkah laku dengan cara tertentu harus didisiplinkan, jika perlu dengan kekerasan. “Women, in their ‘proper’ behavior, their ‘proper’ clothing, embody the line which signifies the collectivity’s boundaries – perempuan, dengan sikap yang ‘pantas’, dengan pakaian yang ‘pantas’, menyimbolkan identitas kolektivitas.” Semakin banyak perempuan yang menyesuaikan diri dengan peran yang ditentukan oleh para Ulama, semakin kuat citra Islam dan nasionalisme berlandaskan Islam.

Menurut International and Human Rights Watch Women’s Rights Project (1997, h. 2-3), hak asasi manusia :

are those rights that every human being possesses and is entitled to enjoy simply by virtue of being human … Human Rights are based on the fundamental principle that all persons possess an inherent human dignity and that regardless of sex, race, color, language, national origin, age, class or religious or political beliefs, they are equally entitled to enjoy their rights”

– adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap insan manusia karena dia adalah seorang manusia… Hak asasi manusia berlandaskan pada prinsip mendasar bahwa semua orang memiliki martabat kemanusiaan di dalam dirinya tanpa memandang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, asal bangsa, usia, kelas sosial atau agama atau kepercayaan politik, dan mereka sama-sama berhak menikmati hak-haknya.”

Dalam menuntut persamaan hak asasi manusia yang dinikmati oleh pasangan laki-lakinya, perempuan Aceh dapat menggunakan strategi penafsiran ulang naskah dan sejarah, dan mengambil alih simbol simbol kekuasaan yang dulunya dikuasai oleh laki-laki. Bukan pula karena pertemuan itu dihadiri oleh lebih dari lima ratus perempuan Aceh. Yang mencerminkan pengambil-alihan simbol-simbol kekuasaan yang dulunya dikuasai oleh laki-laki adalah fakta bahwa pertemuan itu diadakan di Mesjid Raya Baiturahman di Banda Aceh, dan pertemuan itu dibuka dengan genderang mesjid tambo (gendang besar terbuat dari kulit binatang) telah membuat pertemuan tersebut menjadi pertemuan yang subversif terhadap symbol-simbol yang dominan. Kesenjangan antara tingkat partisipasi perempuan dalam politik dan tingkat kesejahteraan mereka memerlukan pembahasan yang lebih mendalam. Epilog ini hanya mengajak untuk selalu mengaitkan upaya dekonstruksi wacana tentang perempuan Aceh dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan Aceh itu sendiri.

Tumbuhnya kesadaran dan keadilan gender diberbagai lapisan masyarakat saat ini, tidak lepas dari rentetan perjuangan kaum feminis diberbagai masa sebelumnya. Feminisme sebagai teori dan gerakan sosial, berkembang dan membawa perubahan yang baik dalam masyarakat. Tapi harus diingat, tak satupun pihak yang mengagendakan perubahan menuju keadilan gender kecuali perempuan itu sendiri. Artinya, kesempatan mengakses dunia politik, ekonomi, dan lain-lain yang terbuka harus diikuti secara langsung oleh kelompok perempuan.

Gender dalam arti seksualitas secara historis-politik dipandang sebagai refleksi kesucian dan dimensi transenden dalam kehidupan manusia, terutama pada masyarakat Timur. Di sisi lain, agama adalah sistem diskursif dalam kepercayaan dan praktik yang menawarkan struktur tatanan moral, makna kultural dan tujuan motivasional individual ataupun kolektif melalui eksplorasi simbol transenden dan komunikasi spiritual dengan realitas supernatural yang suprematif. Tantangan utama agama pada masa sekarang adalah perubahan sosial yang diiringi dengan perubahan pandangan secara radikal mengenai relasi dan peran gender. Prinsip ekualitas gender dalam masa modern yang termanifestasikan dalam proposisi bahwa perempuan dan pria diciptakan sama merupakan kebenaran global yang terbukti sendiri.

Selain itu, ekualitas gender dalam nilai, status dan akses terhadap sumber daya dan kekuasaan sangat penting dalam menolak pengaruh radikalisasi bagi kaum muda dan perempuan secara umum. Memanfaatkan celah ini dalam deradikalisasi sangat urgen ditinjau dari beberapa aspek.

Pertama, kaum perempuan merupakan pihak yang dijadikan sebagai korban ekstremisme yang tidak menyediakan tempat bagi opini perempuan atau pengakuan akan kehendak bebas mereka. Dalam arti, kepatuhan perempuan potensial digunakan sebagai dasar untuk menekan mereka terlibat dalam radikalisasi, baik kekerasan atau non-kekerasan.

Kedua, perempuan mempunyai peran yang kompleks dalam melibatkan diri dalam mendukung dan mendorong kekerasan religius. Penelitian van de Linde dan van der Duin menyatakan pentingnya peran perempuan bahwa peran perempuan dalam kekerasan ekstremis. Rasionalisasinya adalah perempuan potensial terlibat dalam radikalisasi teroris dan pelibatan mereka dalam aksi terorisme cenderung diabaikan.

Ketiga, domestikasi dan eksklusi perempuan dalam kehidupan publik dan produksi teks keagamaan membuat mereka dapat menjadi aktif menerima bahan pengajaran yang bisa saja diekploitasi untuk mendukung terorisme. Radikalisasi terhadap perempuan sebagai korban dan pelaku tidak hanya berasal dari praktik radikal, tetapi juga dapat berasal dari teks-teks keagamaan yang subordinatif-diskriminatif perempuan.

Radikalisasi merupakan sebuah proses yang diinisiasi dari ide dan ajaran yang bermula dari tahap individual. Dalam konteks ini, deteksi dini radikalisasi dengan melibatkan perempuan dapat berjalan secara efektif. Hal ini didasari fakta bahwa perempuan memainkan peran vital dalam keluarga, secara partikular dalam pembentukan karakter anak-anak. Perempuan juga menawarkan perspektif yang beragam dalam memecahkan persoalan.

Deradikalisasi kekerasan dan ekstremisme membutuhkan intervensi dalam setiap tahap spektrum radikalisasi dari mulai pengukuran penggunaan kekuatan hingga investasi pembangunan proaktif untuk memenuhi tuntutan sosio-ekonomi masyarakat, untuk mengounter ideologi ekstremis dan merehabilitasi individu yang terlibat radikalisasi. Operasi kontra radikalisasi membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat lokal guna mempertahankan kredibilitas pemerintah dan kepercayaan dengan selalu menjalin kerjasama.

Perempuan merupakan guru alami bagi keluarga dan anak-anak, maka mereka harus memainkan peran vital dalam mempengaruhi kebijakan keluarga. Karena pendidikan merupakan proses transformasi intelektual dan pengetahuan, termasuk pembentukan karakter anak yang tidak hanya terbatas pada bentuk formal tetapi juga informal dalam lingkup keluarga. Pelibatan perempuan sangat penting karena mereka mempunyai kemampuan prevensi dalam tahap deteksi dini radikalisasi, sehingga peran deradikalisasi oleh perempuan menjangkau spektrum yang luas dari proses radikalisasi. Untuk menciptakan perspektif moderat, perempuan harus berada dalam pendidikan moderat dalam lingkungan yang moderat.

Mereka merupakan senjata ampuh sebagai agen kontraterorisme dengan menciptakan strategi berbasis komunits. Ketiga, wanita Indonesia dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengingkatkan keamanan dan deteksi dini dengan program berbasis komunitas melalaui perhatian merek terhadap media dan sarana kampanye lainnya.

Pertama, reduksi inekualitas gender dan memberikan perempuan peran yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam multi bidang sosial. Reduksi dukungan terhadap radikalisasi merupakan usaha puncak melawan ancaman terorisme dan induknya, yaitu ideologi ekstremisme. Penguatan pesan non-kekerasan dan langkah penting untuk membangun pertahanan komunitas yang kuat.

Kedua, penguatan kesejahteraan multi sektoral (well-being) guna mencegah terjadinya radikalisasi. Kesejahteraan dalam lingkup keluarga banyak dibebankan kepada peran perempuan. Pelibatan perempuan dapat dilaksanakan dalam multi sektor kehidupan seperti penguatan ekonomi, pendidikan keluarga, agama, pengauatan hukum, dan informasi berbasis komunitas serta deteksi dini.

Ketiga, menjadikan perempuan sebagai lokomotif terdepan dalam pendidikan moderat, terutama dimulai, walaupun tidak terbatas, dari lingkungan keluarga. Maroko melaksanakan kontraterorisme berbasis pendidikan moderat untuk melawan penyebaran radikalisasi. Untuk menciptakan kelompok religius moderat, pemerintah melatih dan mendidik perempuan untuk memfasilitasi pendidikan yang lebih moderat dalam pemahaman agama.

DAFTAR PUSTAKA

Afiff, Suraya A., “Opini Suraya A. Afiff, Mahasiswi Berkeley, USA”, Kabar dari Flower Aceh, Edisi 21/Tahun II/Desember 1999.

Akatiga, Yappika, and Forum LSM Aceh, “Studi Identifikasi kebutuhan Masyarakat Aceh”, sebuah draf penelitian, 2000.

Alfian, Teuku Ibrahim, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999.

Ali, Fachry, “Bagaimana Negara Menghampiri Rakyat? Masyarakat Aceh dan Negara Orde Baru”, dalam Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi (eds.), Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998.

Amar, Paul. “Middle East Masculinity Studies: Discourses of Men in Crisis,” Industries of Gender in Revolution”, Journal of Middle East Women’s Studies, 7.3, 2011.

Wulan, Lisa R. “Enhancing the Role of Women in Indonesia to Counter Terrorism”, Asia Pacific Center for Security Studies, 2010.

Diani, A., Lestari, M. T., & Maulana, S. (2017). Representasi Feminisme Dalam Film Maleficent. ProTVF: Jurnal Kajian Televisi Dan Film, 1(2).

Wahjana, Jajang, Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, retrieved 14 Juli 2004 pada http://www.rnw.nl/ranesi/html/anak_jalanan.html

Muchtar, Damayanti, 1999, The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, A thesis submitted for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia

Dzuhayatin, Fakih, Mansour, (et.al.). 2000. Membincang Feminisme: Diskursus Gender Prespektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Warsito. 2012. Sejarah Muncul dan Berkembangnya Feminisme dan Gender. Makalah dalam   http://thesmartestteacher.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-muncul-dab berkembangnya .html


x

No comments:

Post a Comment